ZONA PERANG (zonaperang.com) – Agus Salim, biasa dikenal dengan nama Haji Agus Salim, beliau juga terkenal di organisasi Sarekat Islam pada zamannya.
Agus Salim lahir pada 8 Oktober 1884 di kota Gadang, Sumatera Barat. Beliau memiliki nama lahir yaitu Mashudul Haq yang berarti “Pembela Kebenaran”.
Haji Agus Salim merupakan anak dari pasangan Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Jabatan terakhir ayahnya yaitu sebagai Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.
Redaktur
Pada tahun 1915, Agus Salim terjun ke dunia jurnalistik di Harian Neratja sebagai Redaktur II yang setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi.
Bukan hanya di dunia jurnalistik, Agus Salim juga mengawali kariernya di bidang politik pertama kali yaitu di Sarekat Islam (SI) bersamaan dengan H.O.S Tjokroaminoto dan Abdul Muis.
Baca Juga : G30S/PKI, Bung Karno dan ajudan kepercayaanya
Baca Juga : Wajah-wajah pembunuh para jendral Pahlawan Revolusi(Pemberontakan G30S PKI)
Namun pada tahun 1923, terjadi konflik di Sarekat Islam. Semaun mengharapkan Sarekat Islam sebagai organisasi yang condong ke kiri, namun Agus Salim menolaknya.
Pada akhirnya, Sarekat Islam terpecah menjadi dua bagian, yaitu Sarekat Rakyat yang sekarang berubah menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia)yang akhirnya memberontak sedangkan Agus Salim menetap di Sarekat Islam.
Masa Kecil dan Pendidikan Agus Salim
Pada masa kecilnya, Agus Salim menempuh pendidikan pertama di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah tersebut merupakan sekolah khusus anak-anak Eropa.
Setelah lulus dari ELS, beliau melanjutkan pendidikannya di Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Kelulusannya di HBS menjadi kelulusan terbaik Agus Salim di HBS se-Hindia Belanda.
Setelah menamatkan pendidikannya tersebut, Agus Salim berharap untuk melanjutkan pendidikannya di sekolah kedokteran di Belanda.
Berharap Jadi Dokter
Kemudian ia memohon untuk mendapatkan beasiswa kepada pemerintah untuk melanjutkan pendidikannya tersebut, namun ditolak.
Kecerdasan dari Agus Salim membuat R.A. Kartini tertarik, kemudian Kartini merekomendasikan Agus Salim untuk menggantikan dirinya berangkat ke Belanda.
Karena pada saat itu sebagai seorang putri, Kartini tidak diperbolehkan sekolah tinggi. Cara yang digunakan yaitu, dengan mengalihkan beasiswa sebesar 4.800 gulden dari pemerintah ke Agus Salim.
Baca Juga : Pahlawan Nasional Adnan Kapau Gani : Dokter, Bintang Film, Politisi dan tokoh militer Indonesia
Akhirnya pemerintah setuju dengan usulan dari R.A. Kartini. Namun Agus Salim menolaknya, karena ia beranggapan beasiswa tersebut bukan dari usahanya sendiri, melainkan dari usulan orang lain.
Dengan cara seperti itu, Agus Salim malah beranggapan bahwa pemerintah berperilaku diskriminatif.
Pekerjaan dan Karier Politik Agus Salim
Pada tahun 1906, Agus Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja sebagai penerjemah Konsulat Belanda di sana.
Pada masa itu juga Agus Salim berguru dengan Syeh Ahmad Khatib untuk memperdalam ilmu agama, Syeh Ahmad Khatib merupakan paman dari Agus Salim.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak.
Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.
Menteri Luar Negeri
Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.Peran Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain: anggota Volksraad (1921-1924),anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945, Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947, pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947, Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947 dan Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949.
Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari “Orang Tua Besar” (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan pada tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.
Baca Juga : 27 Desember 1949, Penyerahan Kedaulatan Belanda kepada Indonesia(Hari ini dalam Sejarah)
Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal. Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Namanya kini diabadikan untuk stadion sepak bola di Padang.