ZONA PERANG (zonaperang.com) Kiai Haji Ahmad Rifa’i (lahir di Tempuran, Kendal, Jawa Tengah pada tahun 1787; meninggal dalam pengasingan di Manado, Sulawesi Utara pada tahun 1871) adalah pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah dan juga seorang ulama pendiri, penulis buku semangat perjuangan kemerdekaan.
Dikarenakan pandangan beliau terhadap Belanda, Ahmad Rifa’i pernah dijuluki “Setan Kalisasak” oleh kolonial Belanda dan “Ulama Sesat” oleh ulama yang mendukung Belanda.
Nama KH Ahmad Rifa’I tak bisa luput dari deretan ulama tarekat Indonesia. Beliau sang pendiri organisasi kemasyarakatan Rifa’iyyah. Ia juga merupakan salah satu ulama yang bergelar pahlawan nasional.
Yatim
Beliau telah menjadi yatim di usia sangat belia. Sang ayah yang merupakam ulama Kendal, KH Muhammad Marhum Bin Abi Sujak, meninggal saat Kiai Rifa’i baru berusia enam tahun, kemudian di bawah pengasuhan kakak perempuannya yang bersuamikan Kiai As’ari, pengurus ponpes di Kaliwungu.
Terkenal tegas
Dari kakak iparnya itulah Rifa’i kecil belajar ilmu agama hingga dewasa. Ia juga telah memulai jalan dakwah ketika cukup usia dengan menghelat tabligh keliling Kendal. Dakwah kiai terkenal tegas, sehingga Belanda pun mengawasi gerak-geriknya. Belum lagi tulisan-tulisannya yang menyuarakan kemerdekaan Tanah Air dari tangan penjajah.
Sering tangkap penjajah Belanda
Dengan sikap patriotik tersebut, kiai sering kali ditangkap penjajah, di penjara, bahkan diasingkan. Berkali-kali ia keluar masuk penjara di Kendal dan Semarang. Ia juga pernah diasingkan di Desa Kalisalak Batang. Saat dipengasingan tersebut, kiai justru mendirikan sebuah pondok pesantren. Dengan berdirinya ponpes tersebut, warga pun mulai melek terhadap pendidikan agama dan perjuangan kemerdekaan.
Lelah keluar masuk penjara, kiai pun kemudian memutuskan pergi ke Tanah Suci. Saat itu, usianya sekitar 30 tahun. Kiai ingin menambah ilmu agamanya langsung dari ulama Saudi. Di sana, ia pun berguru kepada para masyayikh, seperti Syekh Ahmad Ustman, Syekh Is Al -Barawi dan Syekh Abdul Aziz Al Habisyi. Setelah menempa ilmu di Saudi sekitar delapan tahun, kiai melanjutkan belajar ke Mesir.
Baca juga : (Melawan Lupa)Pao An Tui, Sisi Kelam Masyarakat Cina pendukung Belanda di Indonesia
Khawatir akan hal mistik dan kesyirikan di masyarakat
Saat kembali ke Tanah Air, kiai makin mapan berdakwah. Ia pun kemudian bersama ulama-ulama Tanah Air yang belajar di Haramain(kota Makkah dan Madinah), mengadakan sebuah pertemuan. Mereka membahas kehidupan Muslimin Indonesia yang masih dekat dengan hal-hal mistis dan kesyirikan. Sebuah gerakan pembaharuan pun muncul di benak ulama-ulama tersebut, termasuk kiai Rifa’i.
Dari gerakan pembaruan itulah Kiai Rifa’i kemudian membangun organisasi sosial kemasyarakatan yang disebut Rifa’iyyah. Organisasi ini bergerak di ranah sosial agama dengan objek pembaruan masyarakat desa. Dalam perkembangannya, gerakan ini menjadi aksi protes penjajahan belanda dan kaum tradisional.
Aktif menterjemahkan dan menulis buku
Sebagai ulama, kiai banyak berdakwah serta menulis dan menerjemahkan buku. Di antara karyanya, yakni kitab terjemahan kitab berbahasa Arab dari ulama terdahulu yang jumlahnya mencapai 62 judul.
Ia menerjemahkannya bebas ke dalam bahasa Jawa, sehingga dapat dimengerti masyarakat pedesaan. Karya-karya terjemah yang disebut Tarjumah inilah yang paling terkenal dari hasil karyanya. Pasalnya, kitab-kitab itu sangat membantu masyarakat desa dalam memahami agama.
Dibuang Belanda ke Ambon dan Menado
Sebagai pejuang, Kiai Rifa’i sangat vokal dalam menyerukan perlawanan terhadap Belanda. Ia berdakwah sembari menanamkan semangat kemerdekaan kepada masyarakat. Alhasil, setiap geraknya selalu diawasi penjajah. Kiai sering kali diasingkan ke tempat terpencil. Ia juga pernah dibuang ke Ambon dan Manado.
Di akhir hayatnya, kiai pun meninggal di pengasingan di Tanah Tondano, Minahasa, Manado, Sulawesi Utara. Bahkan, tanggal kematiannya pun tak ada yang tahu pasti. Ada yang bilang, Kiai wafat pada Kamis 25 Rabiul Akhir 1286 H di usia 86 tahun. Sumber lain menyebut kiai wafat pada 1292 H di usia 92 tahun. Jenazah kiai dimakamkan di kompleks makam pahlawan di Tindano.
baca juga : Pahlawan Nasional Kiai Haji Ahmad Dahlan : Ulama pejuang pendiri Muhammadiah
Baca juga : Daftar Nama Besar Para Pejuang Islam Sepanjang Masa