- Tanah Seribu Pagoda: Salah satu Perang Saudara Terpanjang di Dunia dan Masa Depan yang Tak Pasti
- Perang saudara di Myanmar adalah salah satu konflik internal terpanjang di dunia, dimulai sejak negara ini merdeka dari Inggris pada tahun 1948. Konflik ini berakar pada ketegangan etnis dan politik yang mendalam. Myanmar, yang memiliki lebih dari 135 kelompok etnis, menghadapi tantangan besar dalam menciptakan identitas nasional yang inklusif. Kelompok-kelompok etnis minoritas merasa terpinggirkan oleh pemerintah pusat yang didominasi oleh etnis Bama.
ZONA PERANG (zonaperang.com) Myanmar yang dahulu juga dikenal sebagi Burma adalah negeri yang dikenal dengan pagoda emas dan kekayaan budayanya, kini terperangkap dalam konflik berkepanjangan yang mengancam stabilitas regional. Perang saudara yang melanda negara ini bukanlah sekadar pertikaian internal, tetapi juga mencerminkan persaingan kekuasaan, ketidakadilan sosial, dan campur tangan asing.
Perang Saudara Myanmar: Darah di Tanah Seribu Pagoda
Myanmar adalah negeri yang kaya akan budaya, pagoda emas, dan sejarah panjang perjuangan melawan penjajahan. Tapi di balik keindahannya, ada luka yang tak kunjung sembuh—luka yang kini meledak menjadi perang saudara yang mengerikan.
Konflik ini bukan kejutan mendadak; ia lahir dari ketimpangan, ambisi militer, dan janji demokrasi yang ternyata rapuh.
Baca juga : Film The Bridge on the River Kwai (1957) : Perjuangan Romusha Inggris membuat jalur ‘kereta api maut’
Baca juga : Tragedi Rohingya: Dari Penindasan di Myanmar hingga Pengungsian yang Tak Berujung
Sebab: Benih Konflik yang Tumbuh Diam-diam
Perang saudara Myanmar besar dimulai dengan kudeta militer pada 1 Februari 2021, ketika junta Tatmadaw—militer yang sudah berkuasa sejak 1962—menggulingkan pemerintah sipil yang dipimpin Aung San Suu Kyi. Pemicunya? Hasil pemilu November 2020, di mana Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) menang telak, memicu tuduhan kecurangan dari partai oposisi, didukung militer.
Tapi ini hanyalah permukaan. Di baliknya, ada ketegangan etnis yang berlangsung berabad-abad—antara mayoritas Bamar (sekitar 68% populasi) dan 135 kelompok etnis minoritas seperti Karen, Shan, Kachin, dan Rakhine. Militer, yang didominasi Bamar, sering menindas kelompok ini, menciptakan kebencian yang mendalam. Kudeta ini menjadi titik balik, memicu kemarahan rakyat yang haus demokrasi setelah dekade harapan semu.
Sejarah: Bayang-bayang Penjajahan dan Militer
Sejarah Myanmar penuh liku. Setelah merdeka dari Inggris pada 1948, negara ini sempat menikmati demokrasi singkat sebelum militer mengambil alih pada 1962 di bawah Jenderal Ne Win. Rezim ini membawa isolasi ekonomi dan represi, hingga muncul gerakan pro-demokrasi pada 1988, dipimpin Suu Kyi.
Meski ia menang Nobel Perdamaian 1991, militer tetap berkuasa hingga 2011, ketika reformasi terbatas membuka jalan bagi pemerintahan semi-sipil. Tapi kekuasaan nyata tetap di tangan Tatmadaw, yang mengontrol 25% kursi parlemen dan memiliki hak veto konstitusional.
Kudeta 2021 menunjukkan bahwa militer tak rela melepaskan cengkeraman—sebuah pola yang terulang sejak era kolonial, di mana kekerasan jadi alat untuk mempertahankan dominasi.
Kelompok yang Bertikai: Arena Perang yang Beragam
Di lapangan, konflik ini melibatkan banyak aktor. Junta militer di satu sisi, dipimpin Min Aung Hlaing, mengandalkan pasukan reguler dan serangan udara brutal—seperti pemboman Desa Pa Zi Gyi pada April 2023 yang menewaskan 170 jiwa, termasuk anak-anak.
Di sisi lain, ada oposisi yang terpecah namun gigih. Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), dalam pengasingan, membentuk Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF), yang merekrut anak muda seperti Maung Sein, 19 tahun, yang membelot karena membenci institusi militer.
Selain itu, kelompok etnis bersenjata seperti Tentara Arakan (AA), Karen National Union (KNU), dan Kachin Independence Army (KIA) ikut berperan, memanfaatkan konflik untuk mengejar otonomi. Mereka kini menguasai wilayah strategis, termasuk Myawaddy di perbatasan Thailand (direbut April 2024) dan Muse di perbatasan China (2023). Ketegangan ini tak cuma soal kekuasaan, tapi juga identitas dan hak tanah.
“Tentara Arakan ,berjuang untuk otonomi bagi masyarakat Arakan di negara bagian Rakhine. Mereka telah merebut beberapa wilayah strategis dan mengklaim memiliki sekitar 30.000 tentara. Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA), fokus pada otonomi bagi masyarakat Kokang di negara bagian Shan. Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang (TNLA), memperjuangkan federalisme nyata di Myanmar.”
Baca juga : Terusan Kra Thailand: Pengubah Peta Maritim Asia Tenggara
Baca juga : Sejarah Panjang Penganiayaan Minoritas Muslim di Myanmar(Burma)
Perkembangan: Dari Unjuk Rasa ke Perang Terorganisasi
Awalnya, respons rakyat adalah unjuk rasa damai, tapi militer membalas dengan tembakan dan penangkapan massal—lebih dari 13.000 personel membelot sejak 2021. Situasi berubah drastis menjadi perang saudara pada 2022, dengan PDF dan kelompok etnis melancarkan serangan terkoordinasi.
Data Acled menunjukkan 12.000 kematian sejak kudeta, dengan pertempuran meluas ke kota-kota. Pada 2024, junta kehilangan 60% pendapatan bea cukai akibat kehilangan pos perbatasan, sementara pemberontak kini menguasai setengah hingga dua pertiga wilayah. Ini bukan lagi pemberontakan—ini perang total, dengan anak muda, petani, bahkan biarawati, berdiri di garis depan.
Campur Tangan Asing: Bayang-bayang Besar
Ada tangan asing di balik layar, meski tak selalu terang-terangan. Rusia menjadi tulang pungung utama junta militer, menjual senjata senilai lebih dari 400 juta dolar sejak 2021, termasuk jet tempur dan rudal, menurut laporan PBB.
China, tetangga utama, awalnya mendukung junta dengan senjata dan investasi untuk Jalur Sutra Baru, tapi perang ini mengganggu proyek ambisiusnya—perbatasan Yunnan kini dipagari besi tinggi. Barat, terutama AS dan Inggris, memberi sanksi dan dukungan moral ke NUG, tapi tak ada intervensi militer langsung.
Namun, ada keraguan: apakah dukungan Rusia dan China murni ekonomi, atau ada agenda geopolitik untuk melemahkan ASEAN? Narasi resmi ini soal stabilitas, tapi hampir selalu ada permainan kekuatan yang lebih dalam.
Reaksi Negara Tetangga: Dilema Diplomasi
Negara tetangga bereaksi beragam. Thailand, berbagi 2.400 km perbatasan, membuka dialog kemanusiaan dengan KNU setelah Myawaddy jatuh, meski khawatir gelombang pengungsi 1,2 juta orang (data PBB). India cemas stabilitas timurnya terganggu, sementara Laos dan Kamboja, anggota ASEAN, cenderung diam.
ASEAN sendiri terpecah—Indonesia dan Malaysia mendesak solusi damai, tapi Myanmar ditangguhkan dari KTT sejak 2021 karena junta menolak rencana damai lima poin. Reaksi ini menunjukkan dilema: bagaimana membantu tanpa memicu eskalasi? Ketakutan akan destabilisasi regional membuat mereka berhati-hati, tapi juga lemah.
Refleksi: Pelajaran dari Darah dan Asa
Perang saudara Myanmar adalah cermin konflik global—etnis, kekuasaan, dan campur tangan asing bercampur jadi badai yang sulit diprediksi. Kita tak bisa tidak berpikir: apakah ini hanya tentang demokrasi, atau ada agenda tersembunyi di balik dukungan Rusia dan China? Rakyat, dari Hera yang jadi komandan PDF hingga biarawati yang melindungi pengunjuk rasa, menunjukkan semangat luar biasa.
Tapi pertanyaannya tetap: akankah darah ini membawa perdamaian, atau hanya memicu lebih banyak luka? Sebagai penutup, Kita hanya bisa berharap cerita ini menemukan akhir yang lebih cerah—bukan lagi hanya tinta di kertas sejarah.
Referensi
- Fortify Rights. (2023). The Rohingya Genocide: A Continuing Crisis.
- The Straits Times. (2023). ASEAN’s Dilemma in Addressing Myanmar’s Crisis.
- UNHCR. (2023). Myanmar Refugee Crisis: A Regional Challenge.
- The Diplomat. (2023). China’s Role in Myanmar’s Civil War.
- Institute for Peace and Conflict Studies (IPCS). (2023). Myanmar’s Ethnic Conflicts: A Historical Perspective.
- United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA). (2023). Myanmar Humanitarian Update.
Baca juga : Perang Saudara Sri Lanka
Baca juga : Papua Nugini: Negeri Kaya Sumber Daya, Miskin Kesejahteraan, dan Dikuasai Kepentingan Asing