- Para pengikut Diponegoro saling mengenali melalui kode khusus, sawo kecik. Mengandung makna filosofis yang berakar di dalam budaya Jawa
- Sawo berasal dari bahasa Arab, Sawwu Shufuufakum (luruskan/rapatkan barisan).
- Sandi komunikasi laskar Pangeran Diponegoro yang telah tertangkap adalah dengan menanam Pohon Sawo Kecik di depan tempat tinggalnya. Sebagai tanda mereka adalah pengikut Diponegoro.
ZONA PERANG(zonaperang.com) Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap pada 28 Maret 1830, yang menandai berakhirnya Perang Jawa (1825-1830), pasukannya bercerai-berai. Untuk mengenali satu sama lain, mereka membuat kode khusus: menanam sawo kecik di kanan-kiri rumah mereka. Selain sawo kecik, ada juga yang menanam kemuning dan kepel atau burahol.
“Mereka hingga hari ini masih merasa pengikut Diponegoro atau Raden Ontowiryo. Sawo kecik, menurut mereka, merupakan representasi sang pangeran. Sebab, pohon sawo kecik dulu sangat banyak di Tegalrejo,” ujar FX. Domini BB. Hera, kerap dipanggil Sisco, keturunan eks pasukan Diponegoro yang menyingkir ke Ngantang, perbatasan Blitar-Kediri,
Bukan hanya sebagai kode rahasia, para pengikut Diponegoro yang merupakan putra tertua dari Sultan Hamengkubuwana III mempercayai sawo kecik akan mendatangkan kebaikan bagi penanamnya.
Bagi orang Jawa, sawo kecik memiliki arti sarwa becik atau serba baik. Keraton-keraton pecahan Kerajaan Mataram, seperti Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, menanam sawo kecik. Kedudukannya sejajar dengan pohon beringin, asam, dan gayam. Pakubuwana X (memerintah 1893-1939) menanam 76 sawo kecik di lingkungan Kasunanan Surakarta. Sawo kecik juga banyak ditemukan di Kesultanan Yogyakarta.
Sawo kecik tumbuh subur di daerah pesisir (pantai) yang beriklim kering hingga daerah berketinggian sekitar 500 meter dpl. Pohon Sawo Kecik mampu tumbuh di daerah bertanah kurang subur bahkan mampu berfungsi sebagai pohon perintis dan tanaman pemulih areal-areal yang kurang subur dan kritis.
Tempat berkumpul para pejuang
Pada masa revolusi kemerdekaan, pohon sawo kecik di belakang keraton Yogyakarta menjadi tempat berkumpul para pejuang. Menurut Hardi, salah satu tokoh Partai Nasional Indonesia dan pernah menjabat wakil perdana menteri I, jika hendak melapor Sultan Hamengkubuwana IX di keraton, para pejuang menyamar sebagai abdi dalem dengan berpakaian Jawa, lalu berkumpul di bawah pohon sawo kecik di belakang keraton.
“Jika suasana dianggap aman dari incaran intelijen Belanda, baru kami buru-buru masuk keraton,” kata Hardi dalam Api Nasionalisme: Cuplikan Pengalaman.
Sawo kecik memiliki kisah sendiri jelang kematian Sultan Hamengkubuwana IX. Pada 30 September 1988, keraton Yogyakarta kedatangan Kanselir Jerman Barat, Helmut Kohl. Dua putra sultan, Hadiwinoto dan Joyokusumo, bersama Poeroeboyo, kakak Sultan Hamengkubuwono IX, menerima tamu itu mewakili sultan yang sedang berobat ke Amerika Serikat.
Ketika Helmut Kohl sedang melihat koleksi keraton, tiba-tiba datang beberapa ekor burung gagak dan hinggap di pohon sawo kecik di halaman keraton. “Burung gagak itu nganeh-anehi. Biasanya kalau demikian, akan terjadi sesuatu,” kata Hadiwinoto dalam Sri Sultan, Hari-hari Hamengku Buwono IX.
Menurut kepercayaan orang Jawa, jika di sekitar rumah kedatangan gagak, burung pemakan bangkai, tidak lama lagi akan ada orang yang meninggal. Benar saja, Sultan Hamengkubuwono IX mangkat di rumah sakit George Washington University, Amerika serikat, pada 3 Oktober 1988.
Selain bermakna filosofis, pohon sawo kecik juga bernilai guna tinggi. Para empu sering membuat pegangan keris dari kayu sawo kecik karena keras, tak mudah retak, berwarna merah kecoklatan, dan seratnya halus.*
Baca juga : Christiaan Snouck Hurgronje: Penghancur masyarakat dan negara Aceh
Baca juga : Golani Brigade : Runtuh dan Hancurnya Mitos Tidak Terkalahkan Tentara Terbaik Zionis Israel
Perang Diponegoro
Akibat kekalahanya dalam perang dengan Pangeran Diponegoro, beberapa kali Belanda meminta berunding untuk damai. Tapi oleh Diponegoro ditolaknya. Menurutnya, menerima perundingan berarti menerima kehadiran Belanda sebagai penjajah.
Pihak Belanda melakukan segala cara untuk bertemu dan berunding dengan Diponegoro termasuk meminta bantuan kepada para raja dan kiai. Akhirnya, persis di hari Idul Fitri Pangeran Diponegoro mau menerima tawaran Belanda tapi bukan untuk berunding tapi bersilaturrahim karena momen lebaran.
Selain itu syarat yang diajukan Pangeran Diponegoro, pihak Belanda tidak boleh membawa senjata. Pihak Belanda pun menyetujuinya. Akan tetapi di hari pertemuan Belanda mengingkari janjinya. Bahkan Belanda sendiri membawa senjata lengkap bersama para pasukannya. Atas kejadian itu, akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap. Karena Pangeran Diponegoro seorang yang waskita maka dihadapinya dengan tenang dan tidak melakukan perlawanan.
Pada kondisi tenang itulah Pangeran Diponegoro membisikan pesan terakhir kepada kiai Badrudin untuk segera menanam pohon Sawo. Kemudian kiai Badrudin menyampaikanya kepada para kiai lainya seperti: Kyai Basah Mintaraga, Kyai Kasan Besari, dan Kyai Maderan. Para ulama tersebut merupakan para kiai yang mempunyai kelebihan, linuih, atau karomah.
Kemudian para kiai menanamnya di depan pesantren dan masjid sebagai sandi bagi lasykar Diponegoro untuk terus melakukan perlawanan kepada penjajah Belanda.
Baca juga : Kisah Luar Biasa di Balik Benteng San Paolo: Warisan Penjajahan Portugis dan Kemenangan Tanpa Darah
Baca juga : Bekasi Lautan Api, Pertempuran Heroik para Pejuang Indonesia dari Kota Patriot
Dari KYAI MOJO Sampai FILOSOFI BEJO | Obrolan Bersama Mas Duta SO7