ZONA PERANG (zonaperang.com) – Nama aslinya Raden Mas Garendi. Cucu Amangkurat III yang melarikan diri dari Keraton Kertasura saat perebutan tahta oleh kerabat keraton. Ayahnya, Pangeran Teposono, tewas dalam peristiwa itu.
Nama Raden Mas Garendi muncul dalam Peristiwa Geger Pecinan atau Perang Kuning. Para Panglima Perang Jawa dan Laskar Tionghoa kecewa dengan sikap Sunan Pakubuwono II yang berbalik arah mendukung kompeni.
Baca Juga : Amangkurat I, Raja Kesultanan Mataram yang Zalim Membunuh Ulama dan Rakyatnya
“Nama Raden Mas Garendi muncul akibat kekecewaan pemberontak dan masyarakat Kartasura terhadap Pakubuwono II yang menyerahkan Patih Notokusumo ke VOC. Sikap tidak konsisten PB II itu kemudian memunculkan tokoh tersebut,” kata Pakar Sejarah Universitas Negeri Solo DR Susanto.
Geger Pecinan diawali dengan pembantaian orang-orang Tionghoa oleh VOC di Batavia pada Bulan Oktober 1740. Sejumlah orang Tionghoa yang melarikan diri kemudian bersekutu dengan kekuatan Mataram di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka bersumpah setia pada Pakubuwono II.
Baca Juga : Sultan Agung Hanyokrokusumo : Penguasa Pertama yang berani melawan VOC
Perang besar berkobar nyaris di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Beberapa kota berhasil direbut oleh pasukan gabungan Jawa-Tionghoa. Sejarawan Universitas Negeri Semarang Prof Wasino menyebut perang ini adalah perang terbesar yang dialami VOC.
“Perang gabungan Jawa-Tionghoa ini adalah perang terbesar sepanjang sejarah penjajahan VOC di Nusantara,” kata Prof Wasino.
Beberapa nama dalam perang ini adalah Kapiten Sepanjang atau Siaw Pan Chiang, Patih Notokusumo, Raden Mas Said, Pangeran Mangkubumi serta Singseh yang memimpin laskar Tionghoa dan para jago silat.
Sunan Kuning Naik Tahta
Pada awal 1742, VOC berhasil menekan beberapa posisi Mataram dan Laskar Tionghoa. Sunan Pakubuwono memutuskan untuk berbalik arah dan mendukung VOC.
Niat Sunan mengubah arah perjuangan ditentang sejumlah Petinggi Keraton, Panglima Perang dan Bupati di bawah Mataram. Mereka tetap setia berjuang bersama Laskar Tionghoa melawan VOC.
Baca Juga : Diponegoro (11 November 1785 – 8 January 1855)Bendara Raden Mas Mustahar ꦢꦶꦥꦤꦼꦒꦫ
Membelotnya Sunan Pakubuwono II justru membuat peperangan makin besar. Pasukan Raden Mas Garendi dan Kapiten Sepanjang bergerak untuk merebut Keraton Mataram di Kartasura. Sunan Pakubuwono II terpaksa melarikan diri dengan kawalan VOC.
“Raden Mas Garendi kemudian memimpin pemberontakan ke Mataram. Sehingga PB II lari ke Ponorogo. Dia kemudian diangkat menjadi Sunan Kuning,” kata DR Susanto lagi.
Baca Juga : Arya Panangsang (Arya Penangsang): Potret Sejarah Petarungan Jawa
Walau masih muda, RM Garendi dipilih karena punya kharisma dan kepemimpinan. Dia pun punya darah keturunan raja dari kakeknya, Amangkurat III.
1 Juli 1742, Raden Mas Garendi naik tahta dengan gelar Sunan Amangkurat V Senopati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama.
Dalam Buku Geger Pacinan 1740-1742 yang ditulis Daradjadi dan diterbitkan Kompas tahun 2013, disebutkan juga dia disebut Sunan Kuning.Kabarnya, kata ini berasal dari Cun Ling yang berarti bangsawan tertinggi. Bisa juga diartikan sebagai raja yang memiliki pasukan berkulit kuning saat melawan VOC.
Baca Juga : 15 Oktober 1945, Pertempuran Lima Hari di Semarang
Naik tahta sebagai Raja Mataram tak membuat hidup Sunan Kuning tenang. Kini dia harus menghadapi tiga kekuatan sekaligus. Pakubuwono II, VOC, dan pasukan Madura di bawah Cakraningrat.
Serangan demi serangan terus dilancarkan untuk mengusir Sunan Kuning dari tahta Mataram.
Akhir Perjuangan Sunan Kuning
Bulan Agustus 1742, tiga kekuatan itu mulai melancarkan serangan balasan. Pakubuwono II menyerang Sragen, VOC menyerang Demak dan Cakraningrat terus berupaya merebut langsung Kartasura. Pasukan Sunan Kuning mulai terdesak.
Bulan November 1742, Cakraningrat IV berhasil merebut kembali Keraton Surakarta. Setelah berdebat dengan VOC, dia akhirnya mau menyerahkan kembali Keraton itu ke tangan Pakubuwono II.
Baca Juga : 11 November 1743, Perjanjian Mataram dan VOC : Surabaya dilepaskan sepenuhnya kepada Penjajah
Sunan Kuning mundur melalui Kali Bengawan. Pertempuran dahsyat terjadi, ratusan pasukan Jawa-Tionghoa yang mengawal Sunan Kuning meninggal dalam palagan tersebut.
Mereka terus bergerak ke arah Timur. Dalam sebuah pertempuran, Sunan Kuning terpisah dengan pengawal setianya, Kapten Sepanjang.
Baca Juga : Perang Padri, Pertempuran Antar Saudara yang Memakan Banyak Korban Jiwa
Sunan Kuning kemudian menyerah pada Belanda di Surabaya tanggal 2 Desember 1743. Versi lain menyebut Sunan ditangkap saat datang untuk berunding di markas VOC. Dia kemudian dibawa ke Semarang. Di sana pengawalnya dieksekusi mati. Setelah itu dibawa ke Batavia sebelum akhirnya dibuang ke Sri Lanka.
Usianya baru 16 tahun saat itu. Dia bertakhta enam bulan di atas Mataram, menjadi raja bagi orang Jawa dan Tionghoa atau Cina.