ZONA PERANG(zonaperang.com) Pemimpin yang berkuasa terlalu lama cenderung menjadi diktator. Itu juga yang terjadi pada para pemimpin di Indonesia. Presiden Soekarno ( nama lahir Koesno ) juga agaknya tak luput dari kecenderungan itu.
Setelah terjadi serangkaian upaya pembunuhan terhadap dirinya, Sukarno menjadi keras pada lawan-lawan politiknya. Tanpa pengadilan dan dasar yang jelas, Sukarno memenjarakan mereka yang dianggap berseberangan dengan dirinya. Soekarno juga memberedel surat kabar yang dianggap berseberangan dengan dirinya. Inilah saat-saat gelap politik Demokrasi Terpimpin.
Sebelumnya, Mohammad Hatta sudah mundur dari jabatan sebagai wakil presiden. Dwitunggal itu telah lama berpisah. Hatta memilih berdiri di luar pemerintahan. Mengkritisi pemerintahan Soekarno (Ejaan lama) yang makin otoriter lewat tulisan yang cemerlang di berbagai surat kabar.
Baca juga : Apakah Sukarno juga bertanggung jawab untuk tragedi Romusha?
Baca juga : Umat Islam, PKI dan Militer : Babak Akhir Jelang Pemberontakan Komunis September 1965
Ditangkap Soekarno karena kritis
Mereka yang ditangkap Soekarno di antaranya adalah Sutan Sjahrir, M Roem, Anak Agung Gde Agung, Prawoto Mangkusasmito dan beberapa lainnya. Tuduhan untuk mereka antara lain terlibat percobaan pembunuhan dan membahayakan cita-cita revolusi. Tuduhan itu tak pernah terbukti.
Mereka yang ditangkap dan dipenjarakan Soekarno di Wisma Wilis Madiun, bukan orang biasa. Soetan Sjahrir adalah perdana menteri sekaligus menteri luar negeri Indonesia yang pertama, (1945 hingga 1947) lewat kabinet Syahrir 1 hingga 3. Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia yang dianggap terlibat pemberontakan PRRI/Permesta (alasan pemberontakan karena ketidak-adilan pusat serta daerah, kedekatan pusat dengan PKI).
Sjahrir teguh dalam perjuangannya. Dia kenyang dipenjara Belanda. Sjahrir juga merasakan penderitaan saat dibuang ke Digul, Banda Neira, hingga Parapat, Sumatera Utara oleh kolonial Belanda. Sjahrir bersama Hatta dan Soekarno berdiri bersama di saat-saat paling genting terjadi di negeri ini awal kemerdekaan.
Ditangkap rekan seperjuangannya sendiri
Ironisnya, tahun 1962, Sjahrir ditangkap bekas rekan seperjuangannya sendiri, Soekarno. Sjahrir dipenjara oleh bangsanya sendiri. Bangsa yang dia perjuangkan puluhan tahun untuk merdeka.
Kesehatan Sjahrir di dalam tahanan terus memburuk. Terkena stroke. Tidak ada cara lain, dia harus dibawa ke Zurich, Swiss. Dia menjalani perawatan hingga meninggal tanggal 9 April 1966 pada umur 57. Statusnya saat meninggal masih sebagai tahanan. Jenazah Sjahrir dipulangkan dari Swiss. Presiden Soekarno langsung memberikan gelar pahlawan nasional pada Sjahrir.
Baca juga : Marahnya Panglima Sudirman ke Sukarno yang Tak Pernah Mau Ikut Gerilya
Baca juga : Lukman Njoto, Wakil ketua PKI : Dalang dibalik hasutan dan Propaganda kontroversial Partai Komunis Indonesia
Dianggap tidak sejalan dan sepemikiran
Sementara Mohamad Roem dan Prawoto Mangkusasmito adalah tokoh Partai Masjumi. Partai ini juga dianggap terlibat pemberontakan PRRI/Permesta. Sama seperti Sjahrir, M Roem juga kawan seperjuangan Soekarno. Dia pernah menjabat sederetan posisi penting di negeri ini. M Roem tiga kali menjabat sebagai menteri dalam negeri. Dia juga pernah menjadi wakil perdana menteri.
Bagaimana tanggapan Soekarno ketika dicap sebagai diktator?
“Apa aku seorang diktator? Tidak! Ada lima buah badan demokratis yang memerintah bersamaku. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung serta Presidium, sebuah triumvirat yang terdiri dari Wakil Perdana Menteri Subandrio, Leimena dan Khairul Saleh,” bantah Soekarno dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams.
“Seorang diktator memiliki suatu partai di belakangnya. Yang selalu siap mengambil kekuasaan. Soekarno tidak punya. Soekarno tidak memiliki organisasi yang mendukungnya. Seorang diktator memerintah dari tahtanya. Soekarno tidak berada di tengah rakyat, Soekarno adalah rakyat.”
“Tidak kawan, aku bukan Hitler. Jika benar bahwa seseorang pemimpin yang dikaruniai daya tarik dan wibawa untuk menggerakan orang banyak itu seorang diktator, biarlah dikatakan aku seorang diktator yang berbuat kebajikan,” jelas Soekarno.
Tentu siapapun berhak dan boleh membantah, walaupun kenyataan dapat berkata sebaliknya.
Baca juga : (Buku) Kudeta 1 Oktober 1965 : Sebuah Studi Tentang Konspirasi-antara Sukarno-Aidit-Mao Tse Tung (Cina)
Baca juga : Peristiwa 17 Oktober 1952 : Ketika “moncong” meriam mengarah ke Istana Merdeka