Sjam: Lelaki Dengan Lima Alias
ZONA PERANG(zonaperang.com) Dua tahun setelah aksi berdarah Gerakan 30 September PKI, Sjam Kamaruzaman aatau Achmed Mubaudah – nama yang tercantum saat hukuman mati dilaksanakan, baru muncul di depan publik. Ketika itu, Juli 1967, ia menjadi saksi dalam pengadilan Sudisman, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Indonesia.
Sebelumnya ia hanya bayang dalam halimun: keberadaannya setengah dipercaya, setengah tidak. Biro Chusus, badan rahasia PKI yang dipimpinnya, semula diduga hanya khayalan tentara untuk memudahkan Soeharto memusnahkan partai komunis itu. Namun Sjam membenarkan semua tudingan. Ia mengaku memimpin Biro Chusus dan merencanakan aksi rahasia G30S/PKI.
“Syam disebut sebagai pemimpin sesungguhnya operasi militer itu, sekaligus sebagai yang paling bertanggungjawab atas gagalnya G30S PKI”
Sebagai orang yang bertugas mempengaruhi anggota tentara agar mendukung PKI, ia punya akses ke kalangan militer. Seorang putranya mengenang bagaimana di penjara Sjam menempati sel yang besar serta diizinkan memiliki uang satu tas penuh untuk memenuhi segala kebutuhan.
Siapakah Sjam, lelaki dengan lima nama alias itu? adakah ia agen ganda atau sekedar pengikut Ketua PKI D.N. Aidit yang setia?
“Mungkinkah dia hanya seorang komunis yang tidak cakap dan berpindah peran sebagai justice collaborator?”
Baca juga : Lukman Njoto, Wakil ketua PKI : Dalang dibalik hasutan dan Propaganda kontroversial Partai Komunis Indonesia
Baca juga : Pengkhianatan PKI (Partai Komunis Indonesia) : Sejarah yang tidak boleh dilupakan oleh kita semua
Tokoh misterius
Syam Kamaruzaman boleh dibilang sebagai sosok yg misterius, namun sosoknya merupakan tokoh penting dalam setiap manuver politik PKI. Syam memiliki lima nama alias, yaitu Djimin, Syamsudin, Ali Mochtar, Ali Sastra, dan Karman. Dari sini kita sudah bisa menerka, apa perannya di PKI
Syam tercatat ikut serta dalam pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, namun Syam akhirnya berhasil menyingkir ke Jakarta setelah pemberontakan PKI Madiun berhasil dipadamkan oleh TNI. Sosoknya cukup banyak dikenal oleh para perwira militer, terutama dalam kelompok Pathuk(atau nuthuk, bahasa jawa : Jumpa/Jemput).
Kelompok Pathuk
Kelompok Pathuk sendiri adalah tim khusus yang biasa mengerjakan misi pasukan komando, yaitu melakukan infiltrasi, surveilance/pengamatan, hingga sabotase dan penyerangan terhadap musuh. Kelompok ini eksis di masa pendudukan Jepang.
Kiprahnya di kelompok Pathuk membuat Syam mengenal banyak tokoh yang dikemudian hari sudah menjadi perwira militer hingga pejabat pemerintahan. Kelompok Pathuk sendiri diarsiteki oleh Sutan Syahrir (Perdana menteri RI 14 November 1945 – 20 Juni 1947, mendirikan Partai Sosialis Indonesia di 1948) yang berideologi kiri atau sosialis.
Baca juga : 7 November 1917, Pemberontakan kaum Bolshevik di Rusia : Revolusi komunis yang melahirkan negara Uni Soviet
Membina serikat buruh di tahun 1948
Tahun 1948 Pecah pemberontakan PKI di Madiun, Syam ketika itu tengah berada di Jakarta dan sedang membina serikat buruh di Pelabuhan Tanjung Priok. Gagalnya pemberontakan PKI di Madiun, membuat tokoh muda PKI melarikan diri ke Jakarta, termasuk Dipa Nusantara Aidit dan Muhammad Hatta Lukman.
Syam yang merupakan tokoh serikat pekerjaan pelabuhan, membantu lolosnya Aidit dari kejaran petugas keamanan. Jasa inilah yang membuat Syam begitu dipercaya oleh Aidit menjadi salah satu tokoh kunci PKI di kemudian hari.
Pasca kegagalannya pada pemberontakan Madiun, PKI mereformasi organisasinya. Aidit, Lukman, Nyoto dan Sudisman menyingkirkan tokoh tua PKI. Ditangan tokoh muda, PKI memutuskan untuk fokus bergerak di jalur politik.
PKI masuk kabinet Soekarno & kondisi geopolitik
Perkembangan pesat PKI di era kepemimpinan Aidit membuat PKI sukses meraih predikat sebagai parpol papan atas. Dalam Pemilu tahun 1955 PKI berada di urutan ke-4 secara nasional. Itu artinya PKI berhak masuk kabinet Soekarno.
Masifnya perkembangan PKI juga ditopang oleh kondisi geopolitik yang ketika itu tengah berkecamuk perang dingin. Masih bercokolnya tentara Belanda di Irian Barat menjadi barometer bahwa Indonesia masih belum lepas dari cengkeraman kolonialisme.
Polarisasi kekuatan besar politik dunia terkonsentrasi pada 2 blok, yaitu blok Barat yg merupakan kelompok negara imperialisme pimpinan Amerika bersama Eropa dan di blok Timur bersatunya negara-negara berhaluan sosialis dan Komunis.
Tak ingin terlibat polarisasi tersebut, membuat Indonesia memutuskan untuk menjadi negara netral dan membuat poros Gerakan Non–Blok (GNB) bersama Yugoslavia(Josip Broz Tito), Mesir(Gamal Abdul Nasser), India(Pandit Jawaharlal Nehru) dan Ghana(Kwame Nkrumah). Netralitas ini membuat Indonesia bebas menjalin hubungan diplomatik dengan negara manapun.
Baca juga : Pembantaian Etnis Melayu 1946: Kekejaman PKI (Partai Komunis Indonesia) di Sumatera Timur
Baca juga : Mengapa Chiang Kai-shek yang nasionalis kehilangan Cina? dan kemenangan berada di partai komunis?
Persoalan Irian Barat
Namun Indonesia masih menghadapi persoalan tentang teritori, dimana Irian Barat masih diduduki oleh Belanda. Setelah melewati berbagai perundingan dengan pihak Belanda(sejak 1950), tak terlihat itikad baik Belanda untuk menyerahkan Irian Barat kepada pemerintah Indonesia.
Gagalnya perundingan dengan Belanda, membuat Soekarno mengambil langkah strategis dengan memilih membebaskan Irian Barat melalui jalan konfrontasi militer. Keputusan ini tercermin pada terbitnya Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat).
Genderang konfrontasi militer ini membutuhkan pasokan alutsista, saat itu Indonesia meminta pasokan senjata dari Amerika. Namun hal itu dapat ditebak dan sulit terealisasi, mengingat Belanda merupakan Sekutu Amerika Serikat di NATO atau Blok Barat.
Ujung tombak negosiasi
Tak ingin kalah dari Belanda, Soekarno memutuskan untuk mencari pasokan senjata dari Blok Timur. Keputusan ini dimanfaatkan betul oleh PKI, dimana PKI menjadi ujung tombak negosiasi guna mendapatkan limpahan senjata dari negara Pakta Warsawa.
Strategi diplomasi ini berjalan lancar, Uni Soviet mengirimkan pesawat pemburu supersonik tercanggih masa itu MiG-21 Fishbed, Jajaran penempur MiG-15 Fagot(CS-102)/MiG-17 Fresco(LIM-5P&S-104)/Mig-19 Farmer, pesawat latih Lavochkin La-11 Fang/PZL TS-8 Bies/Aero L-29 Delfín, pembom medium il-28 Beagle, pesawat angkut il-14 Crate/ An-12 Cub, Helikopter raksaksa Mi-6 Hook, pembom jarak jauh Tu-16 Badger A/B dan rangkaian rudal AA Vympel K-13(AA-2 Atoll), radar pertahanan udara PIT-Radwar Nysa B dan peluru kendali anti kapal Raduga KS-1 Komet(Kennel)
Di matra Laut, Indonesia mendapatkan fregat Project 50 Gornostay(Riga class), kapal selam Project 613(Whiskey-class), kapal penyapu ranjau Projects 254(T43 class), Kapal pemburu kapal selam Project 122bis(Kronshtadt class), Kapal cepat berpeluru kendali Project 183R class(Komar class), Kapal cepat torpedo project-186(P-6 class), kapal perusak Project 30bis(Skory class), dan penjelajah Project 68bis(Sverdlov-class) KRI Irian. Termasuk rudal anti kapal P-15 Termit(SS-N-2 Styx), Torpedo SAET-50, Tank Amfibi PT-76, BTR-50 APC, Kapa K-61, mortir 82-BM-37 dan peluncur roket BM-14.
Di matra darat Indonesia mendapatkan limpahan sistem radar pengawas Artileri SNAR-2 Pork Trough, sistem roket(RM-51), meriam(AZP S-60, SPG-9), tank(PT-76), kendaraan angkut(BTR-40, BRDM-1, BTR-152), helikopter( Mil Mi-1/Mi-4 Hound), senapan(SKS, AK-47, Mosin–Nagant, DShK) hingga rudal 9K11 Malyutka(AT-3), SAM SA-2 Guideline. Dengan kekuatan yg besar itu membuat Indonesia satu-satunya negara di Asia Tenggara yg memiliki alutsista standar negara Pakta Warsawa.
“Alutsista senilai $ 450 juta dengan mekanisme pembayaran dilakukan secara kredit berjangka 20 tahun dengan bunga 2,5 % selain itu proyek sohor yang dibantu Soviet tentu saja Stadion Senayan, yang dikenal sebagai Gelora Bung Karno (GBK).”
Melihat kekuatan militer Indonesia yg meningkat pesat, akhirnya Amerika membujuk Belanda untuk angkat kaki dari Irian Barat. Sebab jika Belanda tetap berperang dengan Indonesia, dapat dipastikan Belanda mengalami kekalahan secara militer dan diplomasi. Itu akan membuat aib tidak termaafkan bagi NATO.
Baca juga : 7 Desember 1975, Operasi Seroja Timor Timur: Ketakutan Amerika terhadap Komunis
Konfrontasi dengan negara Persemakmuran Inggris
Usai pembebasan Irian Barat, Indonesia memasuki fase konfrontasi dengan negara Persemakmuran yaitu Federasi Malaysia dan Singapura. Sistem Persemakmuran dianggap sebagai Neo-Kolonialisme dan mengancam keamanan teritorial Indonesia.
Menghadapi itu, Soekarno sangat perlu mendapatkan sokongan persenjataan lebih banyak dari Soviet dan Cina. Itu artinya perlu peran lebih besar dari PKI selaku mediator yg dipercaya oleh pihak Uni Soviet dan Cina.
Namun status Indonesia yang merupakan anggota Non-Blok membuat kekhawatiran pihak Soviet dan Cina, mereka menginginkan jaminan kepastian arah kiblat politik Indonesia. Artinya Soviet dan Cina ingin Indonesia menjadi negara Komunis agar bisa mendapatkan kepercayaan lebih besar.
Baca juga : Inggris Secara Rahasia menempatkan 48 Bom Nuklir 25kt “Red Bread”di Pangkalan Udara Tengah Singapura
Baca juga : 10 Maret 1965, Usman Harun dan Pengeboman MacDonald House Singapura
Agama hambatan bagi PKI
Syarat dari Pakta Warsawa itu mendatangkan angin segar bagi PKI, artinya Soekarno akan sangat bergantung pada PKI. Namun disisi lain PKI sadar betul bahwa kemajemukan serta kultur masyarakat Indonesia yang kental dengan sentuhan agamis merupakan hambatan bagi PKI.
Tantangan ini membuat PKI semakin agresif, ingin mempercepat tranformasi ideologi dari Pancasila ke Komunisme, sesuai cita-cita ideologis PKI. Semua harapan PKI hanya bisa terwujud apabila PKI menjadi kekuatan dominan di Parlemen.
Infiltrasi hanya bisa dilakukan jika PKI memiliki badan khusus yg bertugas menyusup ke berbagai departemen, parpol, ormas, komunitas tani dan serikat buruh hingga ke tubuh militer. Untuk itu PKI membuat Biro Chusus (BC), Syam Kamaruzaman dipercaya untuk memimpin BC PKI.
“Salim Said dalam bukunya “Dari Gestapu ke Reformasi, Serangkaian Kesaksian”, terbitan Mizan 2013, menyebutkan, dalam kesaksiannya di pengadilan, saksi Mayor Udara Suyono menyebutkan bahwa Syam adalah orang yang menentukan dalam rapat-rapat perencanaan operasi militer G30S PKI”
Bisa dikatakan BC ini adalah satuan intel khusus PKI. Dengan mengepalai Biro Chusus, Syam mutlak hanya bertanggungjawab kepada Ketua Umum PKI yakni DN Aidit.
Dalam sepak terjangnya, Syam menyusupkan anggota PKI ke dalam berbagai organisasi eksternal, departemen dan militer. Bahkan media massa pun tidak luput dari infiltrasi BC PKI. Setelah itu BC PKI mencoba mengambil alih pimpinan Organisasi dan Parpol.
Contoh infiltrasi yg dilakukan oleh anggota PKI adalah drama kepindahan Teuku Jusuf Muda Dalam ke PNI. Kehadiran JMD menebarkan bibit perpecahan di Internal PNI, sehingga sebagian anggota pengurus PNI condong kepada komunisme.
Selain itu juga atas dukungan PKI, JMD berhasil menjabat sebagai Direktur Bank Indonesia merangkap menteri urusan perbankan. Dari situ JMD memberi suntikan dana kepada PKI dan ormas-ormasnya.
Baca juga : Film Pengkhianatan G30S/PKI : Waktu terkelam bagi bangsa Indonesia
Baca juga : (Buku Karya Julius Pour) Soekarno Memarahi Brigjen Soepardjo Ketika PKI Kalah pada Tahun 1965
Kesaksian di Mahmillub
Dalam Mahmillub(Mahkamah Militer Luar Biasa) yang mengadilinya pada 1968, Syam menyebut Aidit yang memerintahkan dirinya melaksanakan Gestapu dalam kedudukannya sebagai Kepala Biro Khusus. Tidak dijelaskan bagaimana, menurut Aidit, cara Syam harus melaksanakan G30S PKI.
Kegagalan dalam operasi tersebut kemudian memunculkan banyak rumor, diantaranya bahwa operasi militer G30S PKI tersebut sesungguhnya adalah operasi militer yang memang sengaja dirancang untuk gagal, dimana Syam adalah orang yang paling bertanggung jawab didalamnya.
Kekacauan Dalam Operasi Militer G30S PKI Salim Said menyebutkan, berdasarkan penuturan Letnan Kolonel Penerbang Heru Atmodjo dalam bukunya, Gerakan 30 September: Kesaksian Letkol (Pnb.) Heru Atmodjo, adalah Syam yang sebenarnya langsung memimpin operasi militer pada satu Oktober pagi itu.
Dasar kecurigaan
“Heru Atmodjo berada di Senko, pusat kegiatan Gestapu pada pagi hari itu merasa heran melihat bagaimana Syam, seorang sipil, memimpin langsung operasi militer, sementara di sekitarnya ada Brigadir Jenderal TNI Supardjo, Letnan Kolonel Untung, serta Kolonel Latif.” ungkap Salim. Lebih lanjut menurut Salim, kekacauan dan akhirnya kegagalan operasi G30S PKI pimpinan Syam itulah yang mendorong Heru Atmodjo mencurigai operasi tersebut sebagai gerakan militer yang memang dirancang untuk gagal.
“Tidak terlalu sulit sebenarnya untuk mengerti dasar kecurigaan Heru Atmodjo tentang sosok Syam. Lihat saja bagaimana pasukan yang ditugaskan di Monas dan Istana Merdeka tidak disiapkan logistiknya. Akibatnya, mereka kelaparan. Sebagian dari mereka (Batalyon 530/Para Brigade III Brawijaya) dengan mudah siang itu ditarik masuk ke Kostrad untuk disuguhi makan siang.” ungkap Salim Said.
“Batalion 454 Banteng Raider Kodam IV/Diponegoro yang dalam keadaan kelaparan mundur ke wilayah Pangkalan Udara Halim, mendapatkan makan yang secara tergesa-gesa disiapkan oleh Komandan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Kolonel Udara Wisnu Djajengminardo.” lanjutnya.
Lalu, bagaimana harus menjelaskan bahwa seorang jenderal, seorang kolonel, seorang letnan kolonel, dan sejumlah mayor, kapten, dan letnan, secara berjamaah menjadikan diri mereka anak buah seorang sipil dalam sebuah operasi militer yang begitu penting dan rumit?
Apakah keputusan PKI mendukung gerakan para “perwira maju” dibawah pimpinan Letnan Kolonel Untung diubah oleh Syam di lapangan, dari posisi hanya sebagai “pendukung” berubah menjadikan dirinya pemimpin operasi?.
Baca juga : Wajah-wajah pembunuh para jendral Pahlawan Revolusi (Pemberontakan G30S PKI)
Baca juga : (Kekejaman PKI) Membunuh Gubernur Jawa Timur dan merebut paksa pemerintahan daerah
Tidak tahu
Dalam catatan Salim Said, pada sidang Mahmillub, Sudisman tidak membicarakan penyimpangan yang dilakukan Syam tersebut. Sudisman hanya menegaskan bahwa Syam berhubungan langsung dengan D.N. Aidit. Artinya, Sudisman tidak tahu apa persisnya perintah Aidit kepada Syam.
Sebagaimana yang disaksikan beberapa tokoh G30S PKI yang berada di sekitar Syam pada pagi hari pertama bulan Oktober di Senko, adalah Syam yang memerintahkan pembunuhan dua jenderal yang tiba dengan selamat di Lubang Buaya, ketika yang lainnya sudah terlebih dahulu terbunuh di rumah masing-masing.
“Juga perlu dicatat bahwa Brigjen Supardjo, Kolonel Latif, maupun Letnan Kolonel Untung, semua mengaku terkejut ketika tahu terjadinya pembantaian tersebut. Supardjo, Latif, dan Untung memang tidak punya akses langsung kepada pasukan yang bertugas di lapangan pada pagi itu. Ini juga fenomena yang aneh.” jelas Salim dalam bukunya.
Pembunuhan memang tak terhindarkan karena persiapan penculikan tidak dilakukan dengan perencanaan yang teliti dan saksama. Keadaan yang demikian ini hampir bisa dipastikan disebabkan oleh kepemimpinan Syam yang tidak ditopang oleh pengalaman militer dalam memimpin sebuah operasi yang rumit dan sensitif.
“Sjam, bersama dengan Presiden Sukarno, Wakil Komandan Angkatan Udara Marsekal Omar Dani dan pemimpin PKI D.N. Aidit dan semua pemimpin bergerak ke Bandara Halim, pinggiran Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965”
Orang baru di Jakarta
Sebagian besar pasukan yang melakukan penculikan adalah orang baru di Jakarta. Mereka kemungkinan besar bukan hanya tidak kenal Jakarta, juga tidak kenal dengan baik oleh mereka yang akan diculiknya.
Salim berpendapat, faktor persiapan operasi yang tidak rapi yang menyebabkan terjadinya kepanikan di lapangan hingga menjadi faktor utama gagalnya Operasi Militer G30S PKI.
Baca juga : 12 Januari 1966, TRITURA(Tri Tuntutan Rakyat) : Tuntutan Mahasiswa kepada Pemerintah(Hari ini dalam Sejarah)
Baca juga : AS Tekan Belanda Agar Akui Kemerdekaan dan Kedaulatan RI
Disalahkan
Ketika berada dalam tahanan militer, kawan-kawannya sesama tahanan politik menjauhinya, orang kepercayaan Aidit yang menjabat sebagai Kepala Biro Khusus PKI tersebut kerap diteriaki sebagai “Agen CIA!”.
“Selain peran-peran agen asing, yang juga amat penting, bahkan mutlak diteliti, adalah peran Syam Kamaruzzaman bin Ahmad Mubaidah. Sebagai intel dan Kepala Biro Khusus PKI, Syam dicurigai beberapa kalangan bekerja untuk beberapa pihak sekaligus.” tulis Salim Said.
Menurut penuturan Anak Marhaen (A.M.) Hanai, salah seorang tokoh Angkatan 45 dan anak angkat Presiden Sukarno, dalam bukunya yang berjudul Menggugat Kudeta Soeharto Dari Gestapu ke Supersemar, pada zaman Revolusi, Syam Kamaruzzaman, yang lahir pada 30 April 1924 di Tuban, Jawa Timur, bekerja sebagai intel polisi di Pati, Jawa Tengah.
Intel Komunis
Atasannya adalah pembesar polisi Kota Pati yang bernama Mudigdo, seorang yang berasal dari keluarga ningrat yang juga kelahiran Tuban. Dokter Tanti yang kemudian menjadi istri D.N. Aidit adalah putri Mudigdo dari perkawinannya dengan perempuan Minangkabau yang bernama Siti Aminah.
Di kemudian hari berseliweran informasi mengenai berbagai kegiatan intel yang pernah dikerjakan Syam. Yang paling banyak mendapat perhatian adalah kegiatannya sebagai intel tentara. “Disebutkan bahwa di Jakarta, Syam pernah menjadi intel Kodam Jaya, di Jawa Barat pernah menjadi intel untuk Kolonel Suwarto, Wakil Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad).
Yang tetap menjadi pertanyaan, apakah Syam bekerja di kalangan militer sebagai orang PKI atau dia adalah agen tentara yang disusupkan ke dalam PKI.” tulis Salim. Mengingat bahwa Syam sudah menjadi orang kiri pada zaman Revolusi, Salim lebih cenderung menyimpulkan Syam sebagai agen Komunis dalam tentara.
Sebagai pimpinan Biro Khusus PKI yang langsung berada di bawah D.N. Aidit, posisi Syam sebagai intel di kalangan tentara sangat menguntungkan kegiatannya dalam membina para perwira yang kemudian di kenal sebagai “perwira berpikiran maju”.
Hukuman mati
Di pengadilan atas Gerakan 30 September 1965, Sjam mengaku bahwa ia bertindak atas perintah Aidit. Dia dijatuhi hukuman mati pada tahun 1968, tetapi terus muncul sebagai saksi di berbagai persidangan, di mana dia terus mengungkapkan rincian lebih lanjut untuk menunda eksekusinya. Ia akhirnya dieksekusi pada September 1986.
Baca juga : 5 Operasi teratas badan Intelijen Amerika CIA melawan Uni Soviet
Baca juga : 5 Hukuman Kejam dan Sadis di negara komunis Korea Utara Karena Tindakan Sepele