- Air Sebagai Senjata: Bagaimana Proyek Anatolia Tenggara Mengubah Dinamika Geopolitik
- Dari Pembangunan ke Penguasaan: Dampak Proyek bendungan GAP pada Ketahanan Pangan Suriah dan Irak.
- Güneydoğu Anadolu Projesi (GAP) yang diluncurkan oleh Turki pada tahun 1974 merupakan salah satu inisiatif pembangunan yang paling ambisius di kawasan tersebut. Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial di Anatolia Tenggara melalui pengembangan sumber daya air dan energi. GAP mencakup pembangunan 22 bendungan dan 19 pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di sepanjang sungai Tigris dan Efrat, yang merupakan urat nadi kehidupan bagi negara-negara di Timur Tengah, termasuk Suriah dan Irak
ZONA PERANG (zonaperang.com) Pada tahun 1974, Turki meluncurkan proyek ambisius yang dikenal sebagai Proyek Anatolia Tenggara atau GAP (Güneydoğu Anadolu Projesi). Proyek ini bertujuan untuk mengembangkan wilayah tenggara Turki melalui pembangunan infrastruktur irigasi dan pembangkit tenaga air (PLTA). Namun, di balik alasan resmi pembangunan dan tenaga air, terdapat tujuan yang lebih besar: kontrol atas sungai Tigris dan Efrat, dua sungai utama yang menjadi urat nadi kehidupan di Timur Tengah.
“Turki menghabiskan miliaran dolar untuk membangun senjata paling berbahaya di dunia. Itu bukan nuklir. Itu bukan tentara. Ini pengendalianatas air.”
Air: Senjata Tersembunyi Turki di Proyek Anatolia Tenggara
Pada tahun 1974, Turki memulai sebuah rencana besar yang akan mengubah lanskap Timur Tengah—bukan dengan tank atau rudal, tetapi dengan bendungan dan turbin. Proyek Anatolia Tenggara, atau Güneydoğu Anadolu Projesi (GAP), diperkenalkan sebagai misi mulia: pembangunan ekonomi dan penyediaan tenaga air untuk wilayah tenggara Turki yang miskin.
Dengan investasi miliaran dolar, proyek ini menjanjikan irigasi untuk lahan tandus, listrik untuk jutaan rumah, dan harapan bagi rakyat Anatolia. Tetapi di balik narasi optimis ini, ada agenda yang jauh lebih dalam—dan lebih kontroversial: pengendalian sungai Tigris dan Efrat, dua arteri vital yang menyokong kehidupan di Irak, Suriah, dan sebagian Timur Tengah.
Baca juga : Cappadocia, Saksi Bisu Jihadnya Kesatria
Baca juga : Perang Air (Water Wars) – Tujuh Tentara dari Sejarah yang Menggunakan Banjir sebagai Senjata Pemusnah Massal
Visi Resmi: Pembangunan dan Tenaga Air
GAP adalah raksasa infrastruktur yang dirancang untuk membangun 22 bendungan, 19 pembangkit listrik tenaga air, dan sistem irigasi yang membentang di sembilan provinsi Turki. Ketika pertama kali diumumkan, pemerintah Turki menegaskan bahwa proyek ini akan mengangkat ekonomi kawasan yang tertinggal, mengurangi kemiskinan, dan memenuhi kebutuhan energi nasional. Bendungan Atatürk, salah satu pencapaian terbesar GAP yang selesai pada 1992, menjadi simbol ambisi ini—mampu menghasilkan 2.400 megawatt listrik dan mengairi ratusan ribu hektar lahan.
Secara resmi, GAP adalah tentang kemajuan. Turki membingkainya sebagai langkah modernisasi, menawarkan solusi bagi petani yang bergantung pada hujan dan kota-kota yang haus energi. Namun, ketika bendungan-bendungan mulai menahan aliran air yang mengalir ke hilir, negara-negara tetangga mulai mempertanyakan niat sejati Ankara.
Turki memegang semua kartu – dan air. Implikasinya sangat mengejutkan: – Ancaman keamanan pangan, – Risiko migrasi massal, – Ketidakstabilan politik, – Potensi konflik bersenjata
Realitas Strategis: Kontrol atas Tigris dan Efrat
Sungai Tigris dan Efrat bukan sekadar aliran air—mereka adalah urat nadi kehidupan bagi jutaan orang di Turki, Suriah, dan Irak. Kedua sungai ini berasal dari pegunungan Anatolia Turki sebelum mengalir ke selatan, menyirami ladang, mengisi waduk, dan menopang peradaban sejak zaman Mesopotamia. Dengan GAP, Turki mendapatkan kekuatan untuk mengatur aliran kedua sungai ini, sebuah posisi yang menempatkan mereka dalam kendali atas sumber daya paling berharga di kawasan yang kering dan penuh konflik.
Realitas ini jauh lebih kompleks daripada sekadar pembangunan. Bendungan-bendungan GAP memungkinkan Turki untuk membuka atau menutup keran air sesuai kebutuhan nasional—atau kepentingan politik. Ketika air ditahan untuk irigasi atau pembangkit listrik di Turki, aliran ke Suriah dan Irak berkurang drastis, memicu kekeringan, gagal panen, dan ketegangan diplomatik. Pada 1990, ketika Turki mengisi waduk Bendungan Atatürk untuk pertama kalinya, aliran Efrat ke Suriah dan Irak terhenti selama sebulan penuh—sebuah demonstrasi nyata dari kekuatan air sebagai alat politik.
Sementara dunia berfokus pada titik-titik konflik tradisional di Timur Tengah…
Perebutan kekuasaan regional yang sesungguhnya terjadi melalui pengendalian air. Pertimbangkan angka-angka berikut: – Kerugian tahunan sebesar miliar dolar bagi pertanian Irak, – Pengurangan daya listrik hidroelektrik sebesar 30%, – Peningkatan salinitas air sebesar 50%, – Jutaan orang berisiko mengalami kelangkaan air.
Baca juga : Project Pigeon: Ketika Burung Merpati memandu bom pada target
Baca juga : Tiga Proyek Ambisius Uni Soviet untuk Mengalahkan Amerika
Senjata Paling Berbahaya: Pengendalian Air
Turki telah menghabiskan lebih dari $32 miliar (hingga awal 2000-an, dengan biaya yang terus bertambah) untuk GAP, menjadikannya salah satu proyek infrastruktur terbesar di dunia. Tapi apa yang membuatnya “berbahaya” bukanlah skala atau biayanya—melainkan implikasinya. Dalam kawasan di mana air lebih langka daripada minyak, kemampuan untuk mengendalikan aliran sungai adalah kekuatan yang melebihi senjata konvensional. Tidak seperti nuklir yang menghancurkan dalam sekejap, air—orang-orang yang mengendalikannya—bisa menentukan hidup atau matinya komunitas selama beberapa dekade.
Irak dan Suriah, yang bergantung pada Tigris dan Efrat untuk pertanian dan air minum, berulang kali menuduh Turki menggunakan GAP sebagai “senjata air.” Pada 1980-an dan 1990-an, ketegangan meningkat hingga ancaman militer, meskipun konflik terbuka berhasil dihindari melalui negosiasi. Namun, hingga Maret 2025, dengan perubahan iklim yang memperburuk kelangkaan air dan konflik regional yang belum reda, GAP tetap menjadi sumber ketidakpercayaan di antara ketiga negara.
Dampak dan Kontroversi
Di dalam negeri, GAP telah membawa manfaat nyata: produksi listrik mencapai lebih dari 20% kebutuhan Turki, dan irigasi telah mengubah lahan tandus menjadi ladang kapas dan gandum. Namun, proyek ini juga menuai kritik. Ribuan desa banjir akibat waduk, memaksa puluhan ribu orang—banyak dari mereka Kurdi—kehilangan rumah dan warisan budaya mereka. Situs arkeologi kuno, seperti Hasankeyf, terkubur di bawah air, memicu kemarahan global.
Di luar Turki, GAP adalah pengingat bahwa air adalah geopolitik. Dengan populasi dunia yang terus bertambah dan sumber daya yang menipis, proyek ini menunjukkan bagaimana infrastruktur bisa menjadi alat kekuasaan yang jauh lebih halus—dan lebih tahan lama—daripada senjata tradisional. Pada tahun 1974, Turki memulai GAP dengan visi pembangunan. Lima dekade kemudian, dunia melihatnya sebagai cerminan ambisi yang lebih besar: kekuatan untuk mengendalikan kehidupan di Timur Tengah, setetes demi setetes.
Ini bukan lagi hanya tentang air. Ini tentang masa depan kekuasaan di Timur Tengah itu sendiri. Tiga kemungkinan masa depan muncul: 1. Kerjasama: Negara-negara sepakat untuk berbagi air 2. Krisis Berkelanjutan: Meningkatnya ketegangan tanpa konflik terbuka 3. Perang Air: Konflik bersenjata atas akses air.
Hasilnya akan memengaruhi: * Stabilitas regional * Keamanan pangan global * Pola migrasi * Keseimbangan kekuatan internasional
Pengendalian air telah menjadi lebih kuat daripada minyak. Dan Turki mengetahuinya.
Referensi:
- “GAP: Southeastern Anatolia Project Overview”, “Güneydoğu Anadolu Projesi (GAP) Master Plan”
- “Turkey’s Water Wars: The Ilisu Dam and Beyond” (Mei 2019), The Guardian
- “Turkey’s Dams Are Holding Back More Than Just Water” (Februari 2020), Al Jazeera
- “Water Wars? Turkey, Iraq, and Syria” (Oktober 2019), International Crisis Group
- Daniel Hillel, “Rivers of Eden: The Struggle for Water and the Quest for Peace in the Middle East” (1994)
- John Kolars dan William A. Mitchell, “The Euphrates River and the Southeast Anatolia Development Project” (1991)
Baca juga : Proyek A119: Rencana Gila Amerika untuk Meledakkan Bulan
Baca juga : Necmettin Erbakan: Guru dan Mentor Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan