“Biro Chusus bertugas mengurusi, memelihara, dan merekrut anggota partai di tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia secara ilegal,” kata Iskandar Subekti, panitera Politbiro PKI, dalam catatannya atas peristiwa 30 September 1965.
ZONA PERANG(zonaperang.com) Sosoknya yang sombong dalam berbicara, menjadikan dirinya sebagai pembual sejati Komunis, itu terlihat dari caranya memprovokasi perwira militer binaannya dengan perintah ‘tangkap & habisi’ Dewan Jenderal, dialah Supono Marsudidjojo alias Pono, Wakil Ketua 1 Biro Chusus Partai Komunis Indonesia/BC PKI.
Sesuai tugasnya, Biro Khusus PKI (BC PKI) dibentuk untuk merekrut para perwira militer untuk dijadikan alat politik PKI, Supono atau Pono meyakinkan serta memerintahkan para perwira binaannya untuk melakukan operasi kudeta militer terhadap pemerintahan Presiden Soekarno.
Baca juga : Pembantaian Etnis Melayu 1946: Kekejaman PKI (Partai Komunis Indonesia) di Sumatera Timur
Baca juga : Brigjen Soepardjo, Komandan Militer yang menjadi gembong pemberontakan Komunis G30S/PKI 1965
Merubah Pancasila menjadi Komunisme
Tidak hanya merebut kekuasaan, PKI juga ingin merubah dasar dari Pancasila menjadi Komunisme. Tindakan inkonstitusional itu dilakukan dengan metode yg mereka sebut sebagai ‘Revolusi’. Adapun teknisnya, revolusi versi PKI ialah menghancurkan lawan politiknya.
Figur-figur yang dianggap sebagai kaum anti-komunis menjadi sasaran target pembunuhan diluar jalur hukum. Teror, agitasi(membuat gelisah, jengkel, dan gugup), fitnah dijadikan unsur terdepan untuk melegitimasi segala tindakan sepihak yang dilakukan oleh PKI berikut underbouwnya.
Berdasarkan keyakinan komunisnya, Pono melaksanakan perintah dari ketua CC PKI, Dipa Nusantara Aidit/Achmad Aidit. Dibawah pimpinan Syam Kamaruzaman, Pono mulai menggerakkan perwira-perwira dibawah pengaruhnya untuk melancarkan aksi kudeta berdarah G30S.
Memetakan kekuatan militer
Diawali dengan rapat-rapat persiapan, Pono menyodorkan informasi tentang target sasarannya. Bermodalkan info geografis wilayah, situasi geopolitik serta data perolehan suara PKI dalam pemilu 1955, Pono mengajak para perwira binaannya untuk memetakan kekuatan militer di Djakarta.
Saat rapat persiapan tersebut, Pono dan Syam melihat fakta bahwa operasi G30S akan menghadapi kekuatan besar yang berpotensi menjadi lawan jika G30S tidak mampu mencapai target operasinya. Potensi kekuatan itu disampaikan oleh Kolonel Inf. Abdul Latief, Komandan Brigif 1 Jaya Sakti.
Dengan jabatannya, Latif memiliki data valid tentang kekuatan militer di wilayah tugasnya, yakni Jakarta. Saat rapat, Pono meminta Latief serta perwira militer lainnya untuk menguraikan jumlah pasukan yang kemungkinan bisa dijadikan bagian dari G30S.
Baca juga : Lukman Njoto, Wakil ketua PKI : Dalang dibalik hasutan dan Propaganda kontroversial Partai Komunis Indonesia
Baca juga : Pengkhianatan PKI (Partai Komunis Indonesia) : Sejarah yang tidak boleh dilupakan oleh kita semua
Kekuatan PKI di atas kertas
Letkol Untung mengatakan bahwa 500 personil Cakrabhirawa(pasukan gabungan dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara serta Kepolisian Republik Indonesia yang bertugas khusus menjaga keamanan Presiden RI) dibawah komandonya bisa digerakkan, juga Batalyon 454/PB-2 Banteng Raiders kodam IV Diponegoro dan Batalyon 530/Para Brigade III Brawijaya (yang tengah berada di Jakarta dalam rangka parade militer memperingati HUT ABRI 5 Oktober) akan bisa digunakan untuk mensukseskan rencana G30S.
Dari Latief dijanjikan 1 divisi Brigif bisa dikerahkan, sementara Letkol Udara Heru Atmojo menjanjikan 1 Batalyon Pasukan Pertahanan Pangkalan dan 1 Batalyon PGT/Pasukan Gerak Tjepat AURI juga bisa dipergunakan untuk mendukung G30S. Sedangkan Syam memastikan 2000 sukarelawan dapat dimobilisasi.
Syam meyakinkan
Sementara kekuatan militer yang berada di Jakarta mencapai 60.000 personil, tidak mungkin kekuatan G30S yg hanya sekitar 5000 personil bisa menghadapinya. Namun Syam meyakinkan bahwa G30S akan mendapatkan jaminan dukungan dari kekuatan massa PKI.
Mendengar jaminan dari Syam, akhirnya seluruh perwira yang hadir dalam rapat itu setuju untuk melakukan operasi militer G30S. Dalam rapat disampaikan tentang garis besar operasi G30S, peserta rapat menyetujui pembagian pasukan menjadi 3 satuan tugas khusus. Satuan tugas khusus dibagi atas:
1. Komando penculikan dan penyergapan yang diberi nama Pasukan Pasopati dipimpin oleh Lettu. Dul Latief.
2. Komando penguasaan kota yang dinamakan Pasukan Bima Sakti dipimpin oleh Kapten Suradi.
3. Komando Pertahanan basis yg mereka beri nama Pasukan Pringgondani dipimpin oleh Mayor (U) Gatot Sukresno.
Semua dibawah komando Letnan Kolonel Untung Syamsuri/ Kusman bin Abdullah
Baca juga : 1 Maret 1949, Serangan Umum di Yogyakarta yang Menghinakan Belanda
Membujuk Mayjen Soeharto
Sebagai agitator/penghasut ulung, Pono juga mendorong agar Kol. Latief serta Letkol Untung agar melakukan upaya menetralisir kekuatan militer di Jakarta agar tidak menghalangi operasi G30S. Salah satunya adalah membujuk Mayjen Soeharto selaku Pangkostrad supaya ikut serta dalam gerakan.
Jika Mayjen Soeharto tidak bersedia bergabung, maka Kol. Latief (yang memiliki kedekatan pribadi dengan Pangkostrad) harus bisa meyakinkan Mayjen Soeharto untuk tidak merintangi aksi G30S. Latief pun memberanikan diri untuk menemui Pangkostrad.
Setelah beberapa kali menemui Pangkostrad, Latief menilai dengan asumsinya sendiri, diperkirakan Mayjen Soeharto tidak akan ikut campur dalam masalah ini. Sebuah asumsi yang kemudian diutarakan ke Pono dan Syam, lalu diteruskan ke Aidit.
Optimisme Aidit
Sebagai pimpinan pusat G30S, Aidit merasa informasi ini merupakan angin segar, artinya hampir 90% situasi sangat sesuai dengan perkiraan Aidit. Berdasarkan perhitungannya, Aidit optimis G30S bisa berjalan dengan lancar dan kekuasaan negara dapat diambil alih.
Terlebih lagi Aidit melihat bahwa kader dan simpatisan PKI yang militan dibawah struktur partai di masing-masing daerah, maka akan terealisasi gerakan massa pendukung G30S.
Pono dan Syam juga meyakini optimisme yang sama seperti Aidit, melalui mereka berdua ini tercetus perintah dari Aidit untuk para perwira binaannya. Perintahnya “Tangkap Dewan Jenderal dalam keadaan Hidup atau Mati”.
Baca juga : 14 Februari 1945, Pemberontakan pasukan PETA di Blitar
Baca juga : Mengapa Soeharto Tidak Diculik PKI, padahal dia termasuk perwira berpangkat tinggi saat itu?
Doktrin Marxisme – Leninisme
Perintah itu merupakan implementasi dari doktrin Marxisme – Leninisme yang dianut PKI, dimana ideolgi Komunis telah menggariskan operasi berangus habis terhadap lawan politiknya. G30S kemudian meletus, sesuai perintah maka para tokoh yang menjadi target pun diculik dan dihabisi.
Tidak hanya di Jakarta, G30S juga pecah di berbagai daerah, khususnya di Jateng dan Jogja yang merupakan basis terbesar kekuatan massa PKI. Di Jawa Tengah, PKI tidak hanya berusaha merebut kendali pemerintahan dan struktur Komando militer, tapi juga membunuhi tokoh ulama dan santri.
Tidak memiliki rencana cadangan
Kendati demikian, gerakan kudeta G30S tidak berjalan secara mulus. Terjadi perubahan situasi yang tidak sesuai dengan skenario, dan fatalnya pimpinan tertinggi G30S yakni DN Aidit tidak memiliki rencana cadangan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan. Hasilnya, G30S gagal total.
Kemacetan gerakan terjadi karena kekosongan Komando dari pimpinan G30S, dimanfaatkan oleh Pangkostrad(yang telah berpengalaman menjadi palinglima dalam konflik Irian Barat) yang telah mendapat laporan kejadian dari jajarannya untuk mengkonsolidasikan kekuatan Angkatan Darat. Operasi penumpasan G30S berhasil dilakukan hanya dalam waktu hitungan jam.
Kurang dari 24 jam, kekuatan militer G30S berhasil dilumpuhkan. Kemudian dilakukan pengejaran terhadap tokoh sipil maupun militer yang terlibat dalam kudeta berdarah itu.
Baca juga : (Kekejaman PKI) Membunuh Gubernur Jawa Timur dan merebut paksa pemerintahan daerah
Baca juga : 18 September 1948, Madiun Affair (Pemberontakan PKI 1948)
Loyalis PKI di daerah
Loyalis PKI di daerah melakukan aksi pembunuhan terhadap tokoh lokal yang dianggap sebagai golongan anti-komunis. Gerakan di daerah tersebut memicu ketidakstabilan keamanan yang lingkupnya hampir merata. Rakyat dan ABRI bersatu untuk menumpas gerakan PKI, membuat jatuh korban di kedua belah pihak.
Serangan bersenjata dilancarkan oleh anggota PKI secara sporadis dan berkelanjutan terhadap ulama dan tokoh masyarakat, membuat rakyat marah dan melakukan perlawanan bersama ABRI. Manunggalnya ABRI dan Rakyat membuat kekuatan PKI semakin tersudut.
Tidak ada kata penyesalan
Banyak tokoh G30S/PKI yang tertangkap, termasuk Pono. Nasib Pono cukup beruntung, setelah tertangkap dia langsung diperiksa dan kemudian dihadapkan ke persidangan Mahmilub. Dalam persidangan, Pono mengakui perbuatannya. Namun dia tidak mau mengakui kesalahannya.
Dia tetap yakin bahwa tindakannya merupakan sebuah bagian dari perjuangan Komunis, dimana untuk mewujudkan negara yang berhaluan Komunis haruslah melewati proses revolusi fisik bersenjata. Tidak ada kata penyesalan atas perbuatannya.
Salah satu yang menjadi penyesalannya adalah ketika dia mengetahui kekuatan G30S yang terlalu kecil dan mustahil bisa digunakan untuk mematik revolusi komunis, seharusnya dia bisa mendesak penundaan rencana gerakan. Hal itu menjadi blunder yang berimbas pada hancurnya kekuatan partai.
“Dia (Pono) bilang sebenarnya Biro Khusus sudah menyarankan kepada kawan Aidit, supaya jangan meneruskan aksinya pada 1 Oktober atau 30 September dinihari 1965. Tetapi sayang kawan Aidit tetap meneruskan rencananya,” kata A.M Fatwa/Kapten KKO (Purn.) Andi Mappetahang Fatwa mengenang percakapannya dengan Pono ketika sama-sama menjadi penghuni LP Cipinang pada pertengahan 1980-an.
Saat Soekarno menerima laporan
Sungguh miris, perbuatan yang keji dianggap sebagai hal yang biasa terjadi dalam upaya revolusi, tidak jauh beda dengan ucapan yg dilontarkan oleh Soekarno saat menerima laporan tentang G30S dari mulut Suparjo, dimana Soekarno menganggap kejadian ini sebagai hal yang lumrah dalam revolusi.
Bagi PKI, nyawa itu suatu harga yg murah bagi setiap gerakan revolusi. Sebuah gambaran nyata tentang kejinya ideologi komunis, ideologi yang sangat bertentangan dengan prinsip budaya luhur bangsa Indonesia yg ber-Ketuhanan serta berperi kemanusiaan.
“Manusia tidak bisa selamanya menyombongkan diri dan Buah kesombongan adalah kegagalan total”
Baca juga : (Buku Karya Julius Pour) Soekarno Memarahi Brigjen Soepardjo Ketika PKI Kalah pada Tahun 1965