ZONA PERANG (zonaperang.com) Kenapa perjuangan sebagian muslim Filipina di bawah bendera Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) yang mahsyur itu seperti tak mengenal letih? Rupanya, setelah menelisik sejarah masa lalu Filipina, didapati sebuah pemakluman. Ada jawaban perih yang tak bisa dihilangkan dari memori kaum Muslim Filipina: sebuah jawaban yang hingga saat ini melecutkan harapan dan menimbulkan konflik berdarah.
Dan menyebarlah berita tentang muslim Filipina yang lekat sebagai muslim teroris yang tak kenal kompromi. Seperti apakah muslim Filipina menyikapinya? Bagaimanakah dinamika kehidupan muslim Filipina di abad millenium ini?
Berarti di bawah lindungan Allah
Siapa yang menduga kalau nama Manila, ibu kota Filipina itu, berasal dari kata Fi Amanillah (Bahasa Arab) yang berarti di bawah lindungan Allah? Tidak banyak yang tahu, memang, kalau kota pusat transaksi perdagangan bangsa Filipina itu dahulu kala menganut sistem pemerintahan Islam.
Brunei dan Minangkabau
Sebab, menurut catatan sejarah, sebelum Spanyol datang menjajah di tahun 1565, sultan Islam dari Brunei Darrussalam yaitu Sultan Bolkiah atau Nakhoda Ragam(1485-1521) sudah terlebih dahulu menempati wilayah tersebut hingga memunculkan nama Raja Sulaeman(1558-1575) seorang ulama Minangkabau yang merupakan cucu raja Brunei tersebut(tidak menggunakan nama Kakeknya, Kesultanan Brunei berasal dari Pagaruyung ). Tak aneh, bila pencetusan nama Manila pun diadopsi berdasarkan kata di atas.
Sekedar informasi bahwa sultan brunei tersebut melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit yang Hindu dan menjadi Muslim serta menyerbu daerah yang kelak bernama Manila itu.
Mereka berharap bahwa kelak suatu saat nanti, Manila akan menjadi kota yang tidak hanya menganut sistem pemerintahan Islam yang demokratis tapi juga modern, aman, dan sejahtera. Dalam beberapa dekade, cita-cita itu sempat terlaksana.
Namun sayang, ketika bangsa Spanyol berhasil menaklukan Manila dan beberapa daerah di kepulauan Filipina, harapan itu menjadi mimpi belaka. Yang paling kentara antara lain; Pertama, penduduk Filipina yang dulu mayoritas umat Islam, kini menjadi kaum minoritas alias warga kelas dua.
Baca Juga : Ghafiqi adalah satu-satunya pemimpin Muslim yang berhasil memperluas wilayah di Eropa
Baca Juga : Benarkah Thariq bin Ziyad membakar kapalnya ketika membebaskan Andalusia agar pasukannya tidak kabur?
Rumpun Melayu
Bila menengok lembar sejarah Filipina, umat muslim Filipina telah ada sejak abad 13. Filipina sendiri waktu itu belum berbentuk negara menjadi Republik Filipina. Ia hanya sebentuk kepulauan rumpun melayu yang dijadikan tempat berniaga para pedagang muslim dan persinggahan para ulama dari Gujarat, India, dan Timur Tengah. Untuk pertama kalinya, mereka menempati Kepulauan Sulu.
Namun, setelah itu, petualang-petualang muslim Melayu menyusul dan mendirikan kesultanan di bagian Filipina, yakni Sulu, Palawan dan Mindanao. Diantara mereka adalah para da’i dari pulau Kalimantan yang kebetulan berdekatan dengan Sulu. Maka berkembanglah dengan pesatnya kehidupan muslim di tiga daerah ini. Pengaruhnya bukan hanya pada perkembangan agama, tapi juga secara sosial-kultural di masyarakatnya.
Menurut data Peter Gowing dalam Muslim Filipinos-Heritage and Horizon, muslim Filipina dibagi ke dalam 12 kelompok etno-linguistik (suku-bangsa). Enam yang paling utama adalah Maguindanao, Maranou, Iranum, Tausug, Samal dan Yakan. Preang sisanya yaitu Jama Mapun, Kelompok Palawan (Palawani dan Molbog), Kalagan, Kolibugan dan Sangil.
Baca Juga : (Actually) Tujuan Bangsa Eropa Datang ke Indonesia
Baca Juga : 11 Agustus 1480, Kota Otranto di Italia selatan jatuh ke tangan pasukan Muhammad Al-Fatih
Tagalog
Kendati suku-bahasa itu sangat beragam, bahasa kelompok muslim sendiri memiliki kesamaan. Misalnya, bahasa Manguindanao dan Maranao dapat diucapkan dan dimengerti oleh kedua kelompok ini. Tetapi ada pula beberapa dialek yang dipakai baik oleh orang Islam maupun orang Kristen, yakni bahasa Samal, Jama Mapun, dan Badjao. Sementara bahasa Tagalog dan Visayan banyak digunakan oleh orang-orang Kristen.
Namun demikian, menurut pakar bahasa modern, beberapa bahasa dan dialek orang-orang Filipina Islam dan Kristen semuanya berasal dari rumpun linguistik (bahasa) yang sama, dan memiliki banyak kesamaan. Lebih dari itu, baik orang Islam maupun Kristen Filipina termasuk suku bangsa Melayu (lihat buku Dinamika Islam Filipina, karya Cesar A. Majul: LP3ES, 1989).
Tidak Solid
Secara tradisional, kelompok-kelompok Islam itu sangat mencolok perbedaannya ketika mereka menjalankan tradisi dan hukum (adat) yang beberapa di antaranya terbentuk sebelum kedatangan Islam. Artinya, tali persaudaraan muslim Filipina sangat jarang terjadi. Mereka lebih bangga terhadap identitas masing-masing. Kendati demikian, biasanya kelompok-kelompok tersebut memiliki struktur sosial yang serupa.
Sepanjang sejarah mereka, struktur sosial-politik tersebut berdasarkan sistem datu, yang juga seperti adat, yakni sebuah lembaga dari masa sebelum kedatangan Islam. Datu itu sendiri adalah penguasa lokal (kecil), atau pangeran muda dengan kekuasaan eksekutif dan militer. Dengan kedatangan Islam, beberapa datu yang sangat kuat kekuasaannya, akhirnya menerima gelar sultan. Wajar bila ketegangan antara sultan-sultan dan datu-datu acapkali terjadi.
Konflik satu dengan lainya
Tidak hanya itu, pada abad-abad yang lampau, kelompok-kelompok Islam secara tunggal membentuk kesatuan-kesatuan politik yang bebas, atau beberapa kelompok bergabung untuk membentuk berbagai kekuatan politik. Kadang-kadang di antara mereka terjadi pertarungan maupun persaingan ekonomi.
Fakta demikian menunjukkan bahwa mereka berhak mengajukan segala tuntutan sosial-politik dan ekonomi dengan bebas dan adil berdasarkan kebutuhan kelompoknya masing-masing. Tak aneh jika kalangan kelompok-kelompok Islam memiliki perbedaan pendapat dalam menerapkan bentuk-bentuk lembaga keIslaman mereka. Kendati demikian, bila timbul ancaman bahaya umum dari luar, mereka tetap bekerjasama dalam pertahanan militer.
Baca Juga : Enam Alasan Mengapa Kekaisaran Ottoman Jatuh
Baca Juga : Abdullah bin Saba’, Yahudi, Syiah dan Kekacauan dunia
SPANYOL DAN PERANG MORO
Hal inilah yang ditunjukkan mereka ketika Spanyol berniat mengubah Filipina menjadi wilayah Katholik. Ada tiga kesultanan, yakni Sulu, Maguindanao dan Bayan yang menentang dan melawan sekuat tenaga rencana bangsa Spanyol itu. Sayang, kota Manila yang diperintah oleh kerabat Sultan Brunei Darussalam dengan begitu mudahnya direbut Spanyol.
Selanjutnya, dengan trik kekerasan, persuasi atau menundukkan secara halus dengan hadiah-hadiah, orang-orang Spanyol dapat memperluas kedaulatannya ke seluruh perkampungan (barangay) Filipina yang terpencar-pencar secara luas.
Konon nama Filipina sendiri diambil dari nama Raja Philipe(Philip II/1 May 1527 – 13 September 1598), salah satu raja Spanyol yang sempat berkuasa. Meskipun begitu, mereka tak mampu menaklukan kesultanan-kesultanan di Wilayah Selatan.
Baca Juga : 16 November 1532 : Penjajah Spanyol Francisco Pizarro menjebak kaisar Inca Atahualpa
Baca juga : 10 Februari 1258, Pasukan Mongol menduduki Bagdad : Saat warna sungai Tigris Irak berubah menjadi hitam
Dipecah
Pada saat inilah, genderang perang Kristen dan Islam bernama ‘Perang Moro’ mulai digelar. Politik perang sebangsa pun digulirkan. Para penjajah Spanyol membuat peta pertempuran antara indo Kristen (para pribumi Filipina yang telah ter-Kristenkan) dengan orang-orang Moro (sebutan orang-orang Spanyol untuk menamakan pribumi Filipina yang beragama Islam karena mereka mempunyai kepercayaan yang sama dengan orang-orang Moor Spanyol).
Orang-orang Moro sendiri adalah umat Islam di bagian Selatan Filipina. Struktur pemerintahannya sendiri masih berpusat pada seorang Sultan; pemimpin agama dan pemerintahan yang terikat dengan hukum Islam. Adapun datu di kalangan mereka dipercaya sebagai tokoh masyarakat yang sangat terpengaruh.
Datu-lah yang juga memainkan peranan penting ditengah komunitas muslim Moro hingga tahun 80-an. Di banyak tempat, para datu-lah yang menjalankan administrasi pemerintahan yang menggunakan syari’at Islam. Demikian sekilas kaum muslim Moro. Dengan model kepemimpinan Islam yang kuat tersebut, tentu saja kaum indo-Kristen bertambah semangat ingin menundukkan mereka.
Baca Juga : 2 Januari 1492, Granada: pertahanan terakhir muslim di Spanyol, menyerah.(Hari ini dalam Sejarah)
Baca juga : Marsose, KNIL dan Londo Ireng
Terus berkonflik
Akhirnya, perang kedua kelompok yang masih sedarah itu menimbulkan pengaruh luar biasa di kemudian hari. Ratusan tahun kemudian, ketika masa senja kolonial Spanyol mulai surut dan Amerika datang menggantikan Spanyol. Perang Moro masih terus berlangsung. Meskipun dengan bentuk dan isi yang berbeda, namun tetap bertujuan sama.
Semua ini berawal pada tahun 1898 tatkala Spanyol menyerahkan Filipina kepada Amerika Serikat setelah penandatanganan Perjanjian Paris. Keluar dari mulut macan, masuk mulut buaya. Begitulah gambaran yang tepat untuk melukiskan perjuangan muslim Moro.
Superioritas militer Amerika Serikat memaksa para datu yang gigih untuk tunduk pada kekuasaan Amerika Serikat. Para pejabat Amerika sendiri membiarkan Islam dan hukum adat Moro tak tersentuh, asal tidak bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat.
Ingin disama-ratakan
Namun, mengetahui bakal terjajah kembali, meski bentuk penjajagannwa tak tampak oleh mata, orang-orang Moro mulai kritis dan mengajukan beberapa usulan. Ketika orang-orang Filipina mulai dilatih untuk mempersiapkan pemerintahan sendiri menuju kemerdekaan, para sultan, datu, dan pemimpin agama Islam mengajukan petisi kepada para pejabat Amerika agar wilayah mereka tidak diikutkan pada negara merdeka yang direncanakan.
Mereka menginginkan tetap berbeda dari Filipina Kristen, bertahan dibawah perlindungan Amerika sampai mereka dapat mendirikan negara sendiri yang terpisah.
Dan puncaknya ketika Republik Filipina resmi didirikan pada tahun 1946, orang-orang Moro dimasukkan dalam struktur politik tanpa konsultasi dan izin mereka. Tentu saja hal tersebut menuai protes tajam dari orang-orang Moro. Banyak pelanggaran hukum dan ketertiban yang mengkhawatirkan terjadi di wilayah Moro.
Hingga komite Senat Filipina, pada tahun 1951, menyimpulkan bahwa faktor yang menyebabkan situasi tersebut adalah karena kebanyakan orang Moro tidak mengidentifikasi diri mereka dengan bangsa Filipina atau tidak setuju dengan kebijakan nasional.
Pemaksaan
Terlebih pada tahun 50-an, ketika Amerika dan orang-orang Spanyol mendorong gelombang migrasi kaum Nasrani (Kristen) dari Utara ke kawasan Selatan, tempat muslim Moro menetap dan berkembang biak, pelbagai konflik agama merebak dari hari ke hari. Rata-rata mereka berasal dari ratusan kepala keluarga etnis Ilongo, Ilocano, Tagalog dan lain-lainnya. Mulai dari persoalan tanah, mata pelajaran sekolah hingga tempat ibadah menjadi bahan sengketa di antara mereka.
Karena itu, untuk mencegah konflik berkepanjangan dan merangkul kaum minoritas muslim, pada tahun 1956 pemerintah Filipina membentuk Komisi Integrasi Nasional yang selanjutnya digantikan oleh office of Muslim Affairs and Cultural Communities. Inilah organisasi yang mengurusi kepentingan muslim Filipina.
Kendati niat mulia itu sudah terwujud, namun permusuhan antara orang-orang Moro dan Indio-Kristen masih terus bergolak. Terutama sekali pada tahun 70-an, saat satu organisasi teroris Nasrani bernama Ilagas terbentuk. Awalnya organisasi ini beroperasi di Cotabatos.
Baca Juga : 26 Januari 1564, Perpecahan Katolik dan Protestan yang Berujung Intoleransi
Baca Juga : 1 Februari 1553, Prancis Mengakui Utsmani Sebagai Kekuatan Utama Eropa
Melawan
Namun, perlahan-lahan gerakan ini semakin menyebar. Kaum muslim lantas membentuk gerakan perlawanan yang diberi nama Blackshirt untuk menghadang kemunculan teroris tersebut. Hal serupa terjadi juga di wilayah Lanao. Di sana, kelompok muslim bernama Barracuda melakukan perlawanan terhadap Ilagas. Dan, konflik pun terus meruyak dari satu daerah ke daerah lainnya.
Konflik-konflik di atas sebetulnya diperburuk oleh beberapa faktor, antara lain; membanjirnya pemukiman Kristen ke wilayah-wilayah Muslim secara tak terkendali; penelantaran nasional yang terus-menerus terhadap aspirasi ekonomi dan pendidikan bangsa Moro; diskriminasi yang terang-terangan dalam melayani kaum muslim dikantor-kantor pada tingkat nasional; hilangnya kekuasaan politik para pemimpin Moro di daerah kekuasaan mereka semula; konflik tajam mengenai tanah antara penduduk Moro dan Kristen.
Pemerintah memihak kelompok tertentu
Sejumlah alasan inilah yang secara progresif meningkatkan pertikaian bersenjata antara kelompok Kristen dan Moro dimana kepolisian atau tentara biasanya memihak pada pihak yang pertama. Tak aneh, bila orang-orang Moro meneriakkan isu “pembersian etnis” untuk menarik simpati Dunia Muslim.
Maka ketegangan itu mengalami puncaknya pada tahun 1972. Kala itu, saat Presiden Ferdinand Marcos tengah menerapkan hukuman mati dengan diikuti usaha-usaha melucuti senjata orang-orang Moro, muncul pemberontakan secara terbuka.
Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF)
Gerakan pembebasan yang paling mendapat dukungan luas ialah Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) dengan kelompok militer mereka, Tentara Bangsa Moro (BMA) yang dipimpin oleh Nur Misuari, mantan pengajar dari Universitas Filipina. Organisasi inilah yang kemudian banyak mendapat sambutan dunia Islam. Baik media massa cetak maupun elektronik dari pelbagai negara pernah menceritakan aktifitas revolusioner-radikal MNLF.
Dampak pemberitaan media memang luar biasa. Beberapa negara Islam turut prihatin atas nasib orang-orang Moro. Maka, Organisasi Konferensi Islam (OKI) bersama mediasi Libya mempengaruhi pemerintah Filipina dan MNLF guna menandatangani Perjanjian Tripoli pada 1976, yang memberi suatu bentuk otonomi khusus bagi tiga bekas provinsi yang berpenduduk Muslim.
Namun, baik otonomi yang diberikan oleh rezim Presiden Marcos pada 1977 maupun otonomi di bawah pemerintahan Corazon Aquino pada 1989 tidak memuaskan harapan OKI dan tuntutan MNLF. Tak heran, pada tahun itu pula, MNLF memperbaharui tuntutannya untuk memisahkan diri dari Filipina sambil mencari status keanggotaan OKI.
Sulit ditundukan penjajah
Walhasil, terobosan paling signifikan adalah ketika wilayah otonomi Muslim Mindanao terwujud pada tahun 1990 yang secara langsung memberikan peluang bagi kaum Muslim untuk mengatur beberapa aspek pemerintahan di luar bidang Keamanan dan Luar Negeri. Itu pun karena Mindanao termasuk salah satu daerah yang susah ditundukkan penjajah.
https://www.youtube.com/watch?v=1Y_JvPoK_Ic
Baca Juga : Jarang Diketahui, 7 Pertempuran yang Menentukan Sejarah Dunia
Baca Juga : 11 November 1743, Perjanjian Mataram dan VOC : Surabaya dilepaskan sepenuhnya kepada Penjajah