- Tentang kisah ratusan anggota angkatan Laut Uni Soviet (Red Fleet)yang bergabung di kapal-kapal selam ALRI dan siap memantik perang dunia ketiga dari Papua.
- Pada era 1960-an, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno menjalin hubungan diplomatik dan militer yang erat dengan Uni Soviet, sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat posisi Indonesia di panggung global. Salah satu bentuk kerja sama paling signifikan antara kedua negara adalah bantuan militer besar-besaran dari Uni Soviet, termasuk pengadaan kapal selam kelas Whiskey untuk Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).
- Pada bulan November 1961, enam kapal selam jenis Whiskey dari Uni Soviet tiba di Pelabuhan Surabaya. Kapal-kapal ini merupakan bagian dari Brigade ke-50 pimpinan Laksamana Muda Anatoly Rulyuka. Sukarelawan Uni Soviet ini langsung menurunkan bendera merah-nya dan menggantinya dengan bendera merah-putih, serta menanggalkan seragam Angkatan Laut Uni Soviet untuk mengenakan seragam ALRI tanpa pangkat dan lencana apapun
ANGGOTA Korps Hiu Kencana(satuan khusus kapal selam)memanggilnya: Pak Zukov. Orangnya tidak begitu tinggi namun memiliki wajah keras khas Rusia. Berbeda dengan penampakan luarnya yang garang, Zukov yang konon merupakan seorang perwira Angkatan Laut Uni Soviet (soal itu memang sengaja dirahasiakan) keseharian-nya sangat ramah.
“Dia mengajarkan saya banyak hal tentang dunia kapal selam, terutama mengenai detil yang terkait dengan kapal selam kelas Whiskey(Project 613) yang memang dibuat Uni Soviet,” ungkap Laksda TNI (Purn) I Nyoman Suharta, eks awak kapal selam Korps Hiu Kencana TNI-AL angkatan awal.
Zukov adalah salah satu dari sekira 300 anggota AL Uni Soviet yang sempat “ditugaskan” untuk mengawaki 6 kapal selam jenis Whiskey yang dibeli Indonesia. Ceritanya, sekitar bulan Juni 1962, pihak intelijen Indonesia menginformasikan HNMLS Karel Willem Frederik Marie Doorman(Pahlawan Belanda yang wafat di pertempuran Laut Jawa melawan Jepang) milik Koninklijke Marine sudah memasuki perairan Irian.
12 + 2
Kapal induk buatan Inggris(Ex-HMS Venerable) yang memiliki nomor lambung R81 itu khusus datang dari pangkalan mereka di Den Helder demi memperkuat pertahanan laut militer Belanda di wilayah Irian Barat(sekarang Papua).
Informasi itu langsung direspon secara cepat oleh Presiden Sukarno. Dia lantas memerintahkan jajaran angkatan bersenjata-nya (terutama ALRI) untuk menambah pembelian kapal selam kelas Whiskey dari Uni Soviet: dari 6 menjadi 12(plus 2 sebagai suku cadang).
Permintaan itu langsung diamini Perdana Menteri Nikita Krushchev( 1958–1964). Maka dikirimlah kapal selam yang memiliki torpedo otomatis 533 mm(SAET-50) yang merupakan senjata bawah air tercanggih di zamannya.
Persoalan muncul ketika ALRI tidak memiliki kru lagi untuk mengisi 6 kapal selam tambahan itu. Maka untuk mengantisipasi situasi itu, pemerintah RI “mengundang” ratusan kru kapal selam Angkatan Laut Uni Soviet untuk menjadi sukarelawan. Lagi-lagi Uni Soviet mengabulkan permintaan RI tersebut.
Baca juga : 9 perang yang diikuti pasukan Soviet
300 anggota AL Soviet
“Yang saya ingat, ada sekitar 300-an anggota Angkatan Laut Uni Soviet hadir di Surabaya guna memperkuat 6 kapal selam yang belum memiliki kru Indonesia itu,” ungkap Suharta.
Menurut Suharta, semua anggota Angkatan Laut Uni Soviet itu praktis melakukan aktifitas di Indonesia atas dasar sukarela(menghindari tuduhan bahwa Uni Soviet membantu Indonesia secara langsung). Maka dalam kegiatan sehari-hari, mereka menjalankan tugas tanpa menyandang jabatan resmi dan pangkat sama sekali.
Soal kehadiran dan peran penting orang-orang Rusia itu diakui juga oleh F.X. Soeyatno. Bahkan tidak sekadar sebagai instruktur, mereka pun terlibat aktif dalam patroli. Alumni Akademi Angkatan Laut (AAL) angkatan ke-9 itu bersaksi jika mereka merupakan prajurit bawah laut yang tangguh.
“Saya pernah bertugas bersama mereka mengawasi perairan sepanjang Pantai Utara Irian Barat…” ungkap eks awak kapal selam KRI Tjudamani (408)tersebut.
Kesan Soeyatno terhadap mereka sangat baik. Walaupun berasal dari negara adidaya, prajurit-prajurit AL Uni Soviet itu jauh dari sikap arogan. Mereka memang tegas saat menjadi instruktur namun dalam keseharian sangat bersahabat. Kendati berbeda bangsa dan bahasa, hubungan antara awak Rusia dengan awak Indonesia berjalan lancar.
Asrama KPALU Dermaga Ujung, Surabaya
“Jauh hari kami memang sudah diajarkan bahasa dan budaya Rusia sehinga faktor perbedaan bangsa itu tidak menjadi masalah saat kami bekerja sama,” ungkap anggota ALRI yang mengakhiri karirnya sebagai kolonel itu.
Selama di Indonesia, orang-orang Rusia itu ditempatkan di Asrama KPALU masuk kawasan Dermaga Ujung, Surabaya. Hidup mereka sehari-hari ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah RI. Menurut Suharta, cukup sulit bagi orang luar untuk menemui mereka. Selain sibuk mengajar calon awak kapal Indonesia, orang-orang Rusia itu pun tidak sembarangan bergaul kecuali dengan para anak didik mereka.
‘Dari kesulitan ini lahir sebuah “bahasa” baru – campuran Rusia, Indonesia, dan isyarat tangan yang hanya dipahami oleh mereka yang berada di dalam kapal selam.’
Tetapi menurut Kolonel (Purn) Arifin Rosadi, kehadiran tenaga tempur Rusia di pihak Indonesia sempat sampai ke telinga pihak Belanda dan Amerika Serikat (AS). Kedua-nya tentu sangat mengkhawatirkan kehadiran orang-orang Rusia itu di Indonesia akan memantik perang dunia ketiga. Bisa jadi karena pertimbangan itu, Belanda pada akhirnya mau maju ke meja perundingan.
“Andaikan Belanda ngeyel dan perang pecah di Irian, tentara Rusia itu akan dicatat dalam sejarah sebagai tentara Blok Timur pertama yang langsung berhadapan dengan Belanda yang mewakili Blok Barat ,” ungkap eks Kepala Kamar Mesin KRI Nagabanda(403) itu.
Menu Kapal Selam: Borscht Bertemu Rendang
Kehidupan di kapal selam yang sempit memaksa kedua kelompok untuk berbagi lebih dari sekadar ruang kerja. Dapur kapal selam menjadi laboratorium kuliner yang unik. Koki Soviet belajar memasukkan rempah-rempah Indonesia ke dalam menu mereka, sementara pelaut Indonesia mulai mengapreasiasi sup borscht dan roti hitam. Vodka dan tuak kadang-kadang diam-diam ditukar, menciptakan ikatan yang melampaui perbedaan ideologi.
Baca juga : Kapal Selam Titanium Kelas Sierra II Rusia: Sesuatu yang Tidak Dapat Ditandingi Angkatan Laut Amerika
Baca juga : Tiga Proyek Ambisius Uni Soviet untuk Mengalahkan Amerika
Latihan dan Misi: Melampaui Doktrin
Meskipun tujuan awal adalah transfer teknologi dan pelatihan, kerjasama ini berkembang menjadi lebih. Perwira Soviet, terkesan dengan pengetahuan pelaut Indonesia tentang navigasi di perairan archipelago yang kompleks, mulai mengadaptasi beberapa teknik lokal ke dalam doktrin mereka sendiri. Sebaliknya, strategi Soviet dalam peperangan anti-kapal selam memperkaya pemahaman Indonesia tentang pertahanan laut modern.
Persahabatan di Tengah Ketegangan Politik
Sementara di permukaan, hubungan Soviet-Indonesia mengalami pasang surut seiring dengan perubahan politik, di dalam kapal selam, persahabatan individu tetap bertahan. Cerita tentang perwira Soviet yang membantu rekan Indonesia mengirim surat kepada keluarga di pulau terpencil, atau pelaut Indonesia yang mengajarkan rekan Soviet mereka cara memancing ikan tropis, menjadi kenangan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Pulang kampung
Ketika konflik Indonesia-Belanda mulai mereda, sejak Agustus 1962, secara bertahap orang-orang Rusia pun mulai pulang kampung. Ada cerita menarik ketika orang-orang Rusia itu tahu bahwa perang akan berakhir. Alih-alih bergembira, mereka malah agak kecewa. Mengapa?
Ternyata mereka telah dijanjikan oleh Perdana Menteri Kruschev: jika mereka kembali ke Uni Soviet dalam keadaan hidup dan lolos dari peperangan yang terjadi di Indonesia, maka mereka akan dimutasikan ke kapal selam nuklir(karena musibah kasel K-19)
“Karena peperangan tak jadi meletus, mereka mengira mutasi pun akan dibatalkan,” ungkap Suharta.
Tetapi di depan para komandannya, soal itu segera ditutupi. Mereka tetap menunjukan disiplin yang kuat. Namun bisa jadi itu mereka lakukan untuk menghindar dari pengaduan komisaris politik yang ada di setiap kapal selam. Memperlihatkan sikap membangkang pada perintah atasan, bagi tentara Uni Soviet adalah kiamat. Karena bisa jadi dosanya tak terampuni.
Sumber: Historia dll
Baca juga : Operasi Dwikora: Konflik, Kontroversi, dan Ambisi Nusantara dalam Sejarah Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Baca juga : Dari Australia ke Indonesia: Perjalanan “Pembuat Janda” GAF Nomad sebagai Patroli Maritim