Ide mendirikan negara berlandaskan Islam sudah ada sejak dulu, sampai akhirnya Negara Islam Indonesia (NII) diproklamasikan di Kabupaten Tasikmalaya, 7 Agustus 1949.
ZONA PERANG (zonaperang.com) Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, begitu nama lengkap dari Kartosoewirjo sang pelaku sejarah memiliki dua versi tahun kelahiran .
Irfan S. Awass dalam Menelusuri Perjalanan Jihad SM Kartosuwiryo, serta tulisan Kholid O. Santoso dalam Jejak-jejak Sang Pejuang Pemberontak menyebut bahwa Kartosoewiryo lahir pada tanggal 7 Februari 1905. Sementara Al Chaidar dalam bukunya Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam meyakini SMK lahir pada 7 Januari 1907.
“Pemberontakan DI/TII merupakan salah satu pemberontakan tersulit yang pernah dihadapi Indonesia.” Sebab, pemberontakan ini menyebar di berbagai wilayah Indonesia dari Jawa, Sumatra, Sulawesi maupun Kalimantan.
Masa muda
Namun menurut A. Ruhimat dalam Biografi S.M. Kartosoewirjo, SMK lahir di tengah pencerahan di Hindia Belanda. Pada 1919, Kartosoewirjo mengikuti orangtuanya ke Bojonegoro Jawa Timur. Saat perpindahan ke Bojonegoro inilah Kartosoewirjo bertemu dengan Notodiharjo, tokoh Muhammadiyah yang kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam pola pikirnya. Ini menjadi satu-satunya ajaran Islam yang diterima oleh Kartosoewirjo sebelum ia mengenyam pendidikan kolonial Belanda yang sekuler.
Setelah menamatkan sekolah di ELS (Europeesche Lagere School) pada 1923, Kartosoewirjo pindah ke Surabaya untuk melanjutkan studinya di sekolah kedokteran, Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS). Di NIAS inilah Kartosoewirjo terjun ke dalam dunia pergerakan, yakni dengan bergabung dalam Jong Java pada 1923.
Pada 1925, timbul gejolak dalam tubuh Jong Java yang mengakibatkan perpecahan yaitu antara anggota yang mengutamakan cita-cita keislaman dan anggota yang mengutamakan nasionalis sekuler.
Mereka yang mengutamakan cita-cita keislaman kemudian keluar dari Jong Java. dan mendirikan organisasi baru, Jong Islamieten Bond (JIB), termasuk Kartosoewirjo yang kemudian menjadi ketua JIB cabang Surabaya.
Pada posisi itulah Kartosoewirjo berkenalan dengan ketua Partai Sjarikat Islam (PSI) yakni Hadji Oemar Said Tjokroaminoto yang juga guru sukarno dan kemudian pada September 1927 Kartosoewirjo ditawari menjadi sekretaris pribadinya.
Menurut Al Chaidar, semasa berguru pada Tjokroaminoto, Kartosoewirjo banyak belajar tentang Islam, metode organisasi, berkomunikasi dengan massa, dan membangun kekuatan umat. Bahkan menurut Ruhimat, pada masa itu pulalah sosok “Islam ideologis” Kartosoewirjo mulai terbentuk. Ia mulai mendambakan lahirnya negara Islam dan masyarakat Islam ideal di Indonesia.
Baca juga : Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo, Pemimpin DI/TII yang dihukum mati sahabat karibnya
Baca juga : (Buku Karya Julius Pour) Soekarno Memarahi Brigjen Soepardjo Ketika PKI Kalah pada Tahun 1965
Hijrah
Berkat pengaruh Tjokroaminoto, Kartosoewirjo menjadi kader Partai Serikat Islam (PSI) pada 1927, yang pada 1930 menjadi Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII). Karier politik Kartosoewirjo semakin jelas terlihat ketika kongres PSII 1936 saat ia terpilih sebagai Ketua Muda PSII. Karena sikap politiknya yang radikal dan tak kenal kompromi, ia pun diminta menulis brosur tentang hijrah.
Hijrah yang dimaksud oleh kongres saat itu tidak lebih dari istilah mengenai sikap partai terhadap pemerintah kolonial. Namun, seperti ditulis A. Ruhimat, Kartosoewirjo benar-benar menyamakan pengertiannya dengan hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.
Hijrah menurut Kartosoewirjo adalah hal positif dan bahwa jihad selalu ada dalam sebuah perjuangan. Ia membaginya dalam dua macam, yakni jihad kecil (asghar) untuk melindungi agama terhadap musuh-musuh luar, dan jihad besar (akbar) yang ditunjukan untuk memerangi musuh dalam diri manusia itu sendiri.
Kartosoewirjo dan Teks Proklamasi
Selama pendudukan Jepang, Kartosuwiryo menjadi anggota Masyumi. Bahkan, ia terpilih sebagai Komisaris Jawa Barat merangkap Sekretaris I juga mendirikan sebuah pesantren di Malangbong, Garut, yaitu Pesantren Sufah. Pesantren Sufah selain menjadi tempat menimba ilmu keagamaan juga dijadikan sebagai tempat latihan kemiliteran Hizbullah dan Sabilillah untuk melawan penjajahan.
Ketika Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia dan membentuk BPUPKI, Kartosoewirjo melalui wakil-wakil Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Ahmad Sanusi mengusulkan ide-ide tentang pembentukan negara Indonesia merdeka yang memberlakukan syariat.
Atas ide Kartosoewirjo inilah maka pada Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada bagian pertama memuat tentang “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, meskipun akhirnya kalimat tersebut harus dihilangkan karena desakan wakil kontingen Indonesia bagian Timur yang Protestan dan Khatolik .
Teks proklamasi 17 agustus = teks proklamasi Negara Islam Indonesia (NII)
Tidak hanya itu, pada 14 Agustus 1945, tak lama setelah Jepang di bom atom oleh Amerika, Kartosoewirjo meminta agar Kiai Joesoef Taudjiri segera memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Namun menurut Pinarti yang dikutip oleh Van Djik dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Kiai Joesoef menolak permintaan itu.
Al Chaidar malah menulis bahwa teks proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945 merupakan salinan dari teks yang disiapkan olehKartosoewirjo untuk Kiai Joesoef Taudjiri pada 14 Agustus 1945.
“[… H]ari-hari menjelang proklamasi 17 Agustus 1945, Kartosoewirjo telah lebih dahulu menebar aroma deklarasi kemerdekaan (negara) Islam, bahkan pada 13-14 Agustus 1945 Kartosoewirjo telah menyiapkan naskah proklamasi yang diedarkannya kepada para elite pergerakan sehingga naskah Proklamasi yang ditulis oleh Soekarno hanya berdasarkan ingatan tentang konsep proklamasi Islam yang dipersiapkan oleh Kartosoewirjo, bukan pada konsep pembukaan UUD 1945 yang dibuat oleh BPUPKI dan PPKI,” tulisnya.
Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII)
Setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan membebaskan diri dari penjajahan dan menjadi negara yang menentukan nasibnya sendiri terlepas dari kolonialisme. Tapi Belanda tentu tak membiarkan upaya kemerdekaan ini.
Benar saja, Indonesia yang baru beberapa waktu berpesta dengan kemerdekaan harus kembali merasakan rongrongan kolonial melalui Agresi Militer Belanda I dan II. Adanya agresi ini membuat Kartosoewirjo semakin yakin untuk mendirikan Negara Islam Indonesia.
Dalam catatan Horikoshi, sebagaimana dikutip Ruhimat, pada awal 1948 sekali lagi SMK meminta Kiai Joesoef Taudjiri memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Namun untuk kedua kalinya, sang kiai menolak. Akhirnya pada Agustus 1949, Kartosoewirjo menganggap perlu menerbitkan Maklumat NII No.7. Maklumat pada 12 Syawal 1368/7 Agustus 1949 itu berisi pernyataan pendirian NII.
7 Agustus 1949
Pada 7 Agustus 1949, melalui pertimbangan yang panjang, akhirnya Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di desa Cisampah, kecamatan Ciawiligar, kabupaten Tasikmalaya.
Proklamasi Negara Islam Indonesia tersebut disertai dengan sepuluh penjelasan, termasuk penegasan bahwa Negara Islam Indonesia meliputi seluruh wilayah Indonesia dan seluruh bangsa Indonesia.
Kartosoewirjo juga telah mempersiapkan konsep-konsep bentuk dan sistem pemerintahan serta susunan Dewan Imamah NII. Dalam susunan tersebut, Kartosoewirjo mengangkat dirinya sebagai imam, panglima tertinggi, serta kuasa usaha. Sedangkan untuk wakil imam sekaligus sebagai komandan divisi adalah Karman.
Posisi menteri dalam negeri dan menteri penerangan masing-masing dipegang oleh Sanusi Partawidjaja dan Thaha Arsyad. Untuk menteri keuangan dipegang oleh Udin Kartasasmita, sedangkan menteri pertahanan dan kehakiman, masing-masing dipegang oleh Raden Oni dan Ghazali Thusi.
Alasan yang mendorong proklamasi
Pada 1948 Pemerintah RI menandatangani Perjanjian Renville yang mengharuskan pengikut RI mengosongkan wilayah Jawa Barat dan pindah ke Jawa Tengah.
Hal ini kemudian dianggap Kartosuwiryo sebagai bentuk pengkhianatan Pemerintah RI terhadap perjuangan rakyat Jawa Barat. Bersama kurang lebih 2000 pengikutnya yang terdiri atas laskar Hizbullah dan Sabilillah, Kartosuwiryo menolak hijrah dan mulai merintis gerakan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).
Atas gerakan itu, pemerintah RI berusaha menyelesaikan persoalan ini dengan cara damai dengan cara membentuk sebuah komite yang dipimpin oleh Natsir (Ketua Masyumi).
Namun, komite ini tidak berhasil merangkul kembali Kartosuwiryo ke pangkuan RI. Oleh karena itu, pada 27 Agustus 1949, pemerintah secara resmi melakukan operasi penumpasan gerombolan DI/ TII yang disebut dengan Operasi Baratayudha.
Baca juga : Tiga Pesan Soeharto kepada Presiden Soekarno Pasca Pemberontakan G30S/PKI
Baca juga : Peran Suharto dan Sultan HB IX dalam Serangan Umum 1 Maret 1949
Pemberontakan DI/TII menyebar ke Jawa Tengah
Di Jawa Tengah, pemberontakan DI/TII dipimpin oleh Amir Fatah dan Mahfu’dz Abdurachman (Kyai Somalangu). Amir Fatah ialah seorang komandan laskar Hizbullah di Tulangan, Sidoarjo, dan Mojokerto.
Pada 23 Agustus 1949, setelah mendapatkan pengikut, Amir Fatah kemudian memproklamasikan diri untuk bergabung dengan DI/TII di Desa Pengarasan, Tegal. Amir Fatah kemudian diangkat sebagai Komandan Pertempuran Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal Tentara Islam Indonesia.
Selain itu, di Kebumen muncul pemberontakan DI/TII yang dilancarkan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Somalangu.
Kedua gerakan ini bergabung dengan DI/TII Jawa Barat pimpinan Kartosoewirjo. Pemberontakan di Jawa Tengah ini menjadi semakin kuat setelah Batalion 624 pada Desember 1951 membelot dan menggabungkan diri dengan DI/TII di daerah Kudus dan Magelang.
Untuk mengatasi pemberontakan-pemberontakan tersebut, Pemerintah RI membentuk pasukan khusus yang disebut dengan Banteng Raiders. Pasukan ini melakukan serangkaian operasi kilat penumpasan DI/TII, yaitu Operasi Gerakan Banteng Negara (OGBN) di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sarbini, kemudian diganti oleh Letnan Kolonel M. Bachrun, dan selanjutnya dipegang oleh Letnan Kolonel A. Yani.
Berkat operasi tersebut, pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dapat ditangani pada 1954. Adapun untuk mengatasi pembelotan Batalyon 624, pemerintah melancarkan Operasi Merdeka Timur yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.
Akhir Perjuangan
Negara Islam Indonesia yang dibentuk Kartosoewirjo dengan organisasinya Darul Islam (DI) dan Tentaranya yang dikenal dengan nama Tentara Islam Indonesia (TII) akhirnya dituduh oleh pemerintah Indonesia melakukan gerakan separatisme dan pengrusakan.
Pemberontakan yang dilakukan DI/TII di pulau Jawa dan Sumatera menimbulkan saling curiga antara pemerintah, ulama, dan masyarakat. Pemerintah menganggap para ulama berusaha melindungi DI/TII, begitu pula ada saling tuduh di antara ulama sendiri.
Untuk mengurangi rasa saling curiga itu, akhirnya dibentuklah gagasan Badan Musyawarah Alim Ulama yang kelak menjadi majelis ulama sekaligus menjadi cikal bakal Majelis Ulama Indonesia. Tujuan dari Badan Musyawarah Alim Ulama ini adalah untuk memonitor gerak DI/TII sekaligus membantu pemerintah dalam menumpas DI/TII.
Aksi untuk menumpas DI/TII semakin gencar dilakukan. Melalui konsep Pagar Betis yang diusulkan oleh Danrem Bogor, akhirnya DI/TII pun dapat dikalahkan, dan pada 4 Juni 1962 akhirnyaPanglima Tertinggi akhirnya tertangkap.
Pada 16 Agustus 1962, Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper) yang mengadili Kartosoewirjo mengatakan bahwa gerakannya selama 13 tahun dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah pemberontakan dan hukuman mati pun dijatuhkan kepada Kartosoewirjo.
Pada 4 September 1962, Kartosoewirjo meminta bertemu dengan keluarganya, dan kemudian dibawa ke regu tembak keesokan harinya. Ia dibawa dengan sebuah kapal pendarat milik Angkatan Laut dari pelabuhan Tanjung Priok ke sebuah pulau sekitar Teluk Jakarta.
Pada pukul 5.50 WIB, hukuman mati dilaksanakan. Setelah meninggalnya Kartosoewirjo, juga sepeninggal pemimpin DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi, semangat sebagian pengikut NII bisa dipatahkan. Tapi kenyataannya hingga kini tetap ada yang bercita-cita menegakkan negara Islam, bahkan berbaiat kepada ISIS yang jelas-jelas bentukan operasi Intelejen barat karena ketidaktahuan dan kurangnya pemahaman yang benar tentang keislaman.
Tak seperti nyawa manusia, ideologi tak pernah bisa dibunuh.
Baca juga : 08 April 2013, ISIS/ISIL terbentuk dan masuk perang saudara Suriah
Baca juga : Krisis sandera kerata api Belanda 1977 : Pembajakan 19 hari oleh simpatisan Republik Maluku Selatan(RMS)