- Nama Sudirman begitu harum di seantero negeri. Hampir di setiap kota dari Sabang sampai Merauke, ada jalan dengan namanya. Ia mendapatkan gelar titel tertinggi di angkatan bersenjata Republik Indonesia.
- Tak banyak yang tahu kalau Panglima Besar Jenderal Soedirman mulanya adalah seorang guru HIS Muhammadiyah, di Cilacap. HIS (Hollandsch Inlandsche School) adalah sekolah setingkat SD dengan masa belajar selama 7 tahun.
ZONA PERANG (zonaperang.com) – Pada 12 November 1945, gedung peninggalan Belanda di daerah Gondokusuman, Yogyakarta menjadi saksi bisu sejarah di Indonesia. Para pemuda komandan divisi dan resimen se-Jawa dan Sumatera berkumpul walau jumlahnya tidak komplit. Jawa Timur, misalnya, di mana sebagian petinggi TKR tak datang karena masih sibuk bertempur menghadapi tentara AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) dalam pertempuran Surabaya 10 November 1945.
Untuk wilayah Sumatera pun tak semua petinggi TKR dapat hadir karena berjaga-jaga akan pecahnya perang seperti di Surabaya. Ternyata kewaspadaan itu benar. Sejak Oktober 1945 sampai 10 Desember 1946 terjadi pertempuran Medan Area, sebuah pertempuran yang memakan waktu lebih lama daripada di Surabaya. Atas kondisi tersebut, maka enam divisi dari Sumatera diwakili oleh satu perwira, yakni Kolonel Mohammad Noeh.
Sementara, wilayah lain tidak terlibat karena masih menjadi wilayah Belanda. Seperti penuturan Pengamat Sejarah Militer, Sarif Idris. “Indonesia Timur dan Kalimantan ketika itu masih dibawah komando Sekutu yang kemudian diserahkan kepada Belanda. Yang milik Republik Indonesia, Jawa dan Sumatra. Makanya nanti ada agresi tahun 1947 dan 1948 untuk rebut Jawa dan Sumatra kan” ujar Sarif .
Baca Juga : 1 Maret 1949, Serangan Umum di Yogyakarta yang Menghinakan Belanda
Memutuskan pucuk pimpinan tertinggi angkatan perang
Mereka menyelenggarakan konferensi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk memutuskan pucuk pimpinan tertinggi angkatan perang. Saat itu, kongres dipimpin oleh Kepala Staf Umum TKR, Urip Sumoharjo.
Tidak lengkapnya kehadiran petinggi TKR tersebut tak membuat konferensi batal dilaksanakan. Konferensi TKR dibuka pada pukul 10.00 WIB. Hadir pula sejumlah tokoh, seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sunan Pakubuwono XII, Mangkunegoro X serta pejabat sementara Menteri Keamanan Rakyat Muhammad Seoljoadikoesumo.
Saat Presiden Sukarno mengumumkan maklumat pembentukan TKR pada 5 Oktober 1945, lembaga tersebut belum memiliki pemimpin tertinggi. Sebenarnya Sukarno telah menunjuk Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat, namun hingga waktu yang telah ditentukan tak kunjung datang.
Keberadaan Supriyadi hingga detik ini masih misterius. Entah ia masih hidup atau wafat. Menurut versi keluarga, Supriyadi telah wafat dalam pemberontakan PETA di Blitar. Kalahnya Supriyadi dan pasukan disebabkan strategi pemberontakan mereka bocor ke pihak Jepang.
Kota Pelajar tersebut merupakan markas TKR, karena saat itu Jakarta telah diduduki oleh sekutu. Dalam kongres tersebut terdapat agenda untuk pemilihan panglima besar TKR. Untuk menentukan pimpinan tertinggi itu, dilakukanlah pemungutan suara.
Letnan Jenderal Urip Sumohardjo dan Kolonel Sudirman
Dikutip dari buku Guru bangsa: sebuah biografi Jenderal Sudirman karya Sardiman A.M, suasana rapat sempat memanas saat pemilihan kandidat Panglima TKR. Rapat sempat dihentikan beberapa waktu karena kondisi tersebut. Saat itu muncul nama dua tokoh yang dinilai layak menjadi pimpinan TKR, yaitu Letnan Jenderal Urip Sumohardjo dan Kolonel Sudirman(24 Januari 1916 – 29 Januari 1950).
Urip Sumohardjo ketika itu menjabat Kepala Staf Umum TKR dan mendapat dukungan suara mantan anggota KNIL. Sementara, Sudirman kala itu menjabat Panglima Divisi V Banyumas, Jawa Tengah yang didukung mantan anggota PETA.
Proses pemilihan yang berlangsung sangat sederhana itu akhirnya memenangkan Sudirman dengan suara terbanyak. Lalu, Urip mendapatkan suara terbanyak kedua dan diminta tetap menjadi Kepala Staf Umum.
Dalam menyikapi hasil pemilihan tersebut, Kolonel Sudirman terkejut dengan hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut kepada Urip Sumohardjo.
Baca juga : Sabotase Bendul 1948 : Neraka logistik Belanda di tanah Purwakarta Jawa Barat
Mantan prajurit PETA Vs KNIL
Hal ini senada dengan ucapan pengamat sejarah militer, Sarif Idri. “Sikap Sudirman agak enggak enakan terhadap pemenangan dirinya. Tadinya Sudirman maunya dipilih saja, jangan voting. Biar bagaimanapun Oerip kan lebih experienced dan senior. Cuma loyalis Sudirman mendesak. Akhirnya diiyakan,” tutur Sarif.
Dalam konferensi TKR saat itu memang kenyataannya banyak peserta yang mantan prajurit PETA. Para prajurit mantan PETA ini jelas ragu jika harus memilih Letnan Jenderal Urip Sumohardjo, mengingat beliau sejak tahun 1914 sudah mengabdi menjadi tentara Belanda, yaitu KNIL. Terlebih lagi kondisi saat itu Belanda sedang bertempur dengan pihak Indonesia, sehingga bagi mereka, lebih aman memilih Kolonel Sudirman yang berlatar belakang mantan tentara PETA bikinan Jepang.
Dukungan Abdul Haris Nasution
Selain itu, Sarif Idris juga menambahkan terpilihnya Kolonel Sudirman kala itu dibantu pula dukungan Abdul Haris Nasution. “Terpilihnya Sudirman juga tak lepas dari dukungan Nasution waktu itu dengan loyalisnya. Awalnya Nasution setuju saja dengan diangkatnya Oerip. Tapi kemudian karena mayoritas suara pro Sudirman, Nasution ikut suara terbanyak. Kalau ada clash, saya juga yakin Nasution dan loyalisnya merapat ke kubu Oerip karena faktor ‘didikan Eropa’ (sama-sama ex-KNIL tadi),” kata Sarif.
Kala itu, Jenderal Sudirman masih sangatlah muda, yakni baru berusia 29 tahun. Berdasarkan buku “Soedirman Seorang Panglima, Seorang Martir” oleh tim buku Tempo mencatat, Soedirman sudah terkenal di kalangan pimpinan divisi, terutama Jawa berkat kecakapan dan karismanya.
Sebulan setelah pemilihan itu, Sudirman memimpin TKR untuk memukul mundur pasukan Inggris yang membonceng Belanda di Ambarawa, Jawa Tengah. Peristiwa tersebut kini dikenal sebagai pertempuran Palagan Ambarawa.
Tiga hari usai peristiwa tersebut atau pada 18 Desember 1945, Sudirman dilantik sebagai Panglima Besar TKR oleh Presiden Soekarno.
Baca Juga : Hijrah TNI Pada Masa Perang Kemerdekaan: Pindahnya Tentara Siliwangi ke Yogyakarta
Baca Juga : 15 Oktober 1945, Pertempuran Lima Hari di Semarang