ZONA PERANG(zonaperang.com) Pada tanggal 14 Februari 1945 meletus pemberontakan PETA, singkatan Pembela Tanah Air melawan tentara pendudukan Jepang di Blitar, Jawa Timur. Pemberontakan oleh kesatuan tentara beranggotakan pribumi Indonesia bentukan bala tentara penjajah Jepang itu digerakkan oleh Fransiskus Xaverius Soeprijadi(Supriyadi) .
Peristiwa perlawanan di tengah kecamuk Perang Dunia II tersebut menandai kebangkitan warga lokal. Lantas apa itu PETA yang tersebar terutama di Pulau Jawa? Kapan awalnya terbentuk? Lantas, apa penyebab peristiwa pemberontakan PETA di Blitar dan bagaimana nasib sang pahlawan, Supriyadi?
Baca juga : 26 November 1941, Gugus tugas Jepang berangkat ke Pearl Harbor Hawaii
Pasukan Pribumi
Wilayah Indonesia yang semula dijajah Belanda mulai diduduki Jepang atau Dai Nippon sejak tahun 1942 seiring kekalahan di Perang Asia Timur Raya yang merupakan bagian dari Perang Dunia II.
Perjanjian Kalijati yang ditandatangani tanggal 8 Maret 1942 di dekat Subang, Jawa Barat, menjadi tanda bahwa Belanda menyerah tanpa syarat. Maka dari itu, Belanda harus menyerahkan wilayah Indonesia kepada pemerintah militer Jepang.
Salah satu cara Jepang untuk menarik minat bangsa Indonesia adalah dengan membentuk berbagai organisasi militer dan semi militer yang melibatkan rakyat pribumi. Beberapa di antaranya adalah Heiho, Seinendan, Keibodan, Barisan Pelopor, juga PETA.
‘Kebanyakan direkrut dari tokoh masyarakat, seperti guru, tokoh agama Islam, dan pegawai pemerintah. “Karena itu, umurnya tak muda lagi,” kata Nina Lubis, penulis buku PETA Cikal Bakal TNI.’
Hanya menjadi pembantu prajurit Jepang
Sebelum membentuk PETA, Jepang telah mengeluarkan peraturan tentang pembentukan pasukan pribumi Heiho pada 22 April 1943. Pasukan Heiho terutama bertugas di satuan artileri pertahanan udara, tank, artileri medan, mortir parit, dan sebagai pengemudi angkutan perang. Namun, Heiho ternyata tak memuaskan Jepang, yang ingin pasukan sepenuhnya terdiri dari orang pribumi, terpisah dari tentara Jepang.
Pemuda Heiho hanya menjadi pembantu prajurit Jepang. Tak satu pun di antara mereka menjadi perwira. Tangerang Seinen Dojo (pusat latihan pemuda Tangerang), yang mulai berlatih sejak Januari 1943, malah dianggap lebih berhasil.
Pemisahan tentara pribumi dengan tentara Jepang kemudian dilaksanakan di Kalimantan, Sumatera, dan Jawa dengan nama Giyu-gun. Pengerahan rakyat pribumi untuk masuk tentara sukarela akhirnya terlaksana dengan pembentukan PETA.
Sejarah Dibentuknya Pembela Tanah Air (PETA)
Pada 3 Oktober 1943, pemerintah Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 44 Tahun 2603 (1944) tentang Pembentukan Pasukan Sukarela untuk Membela Tanah Jawa.
Tujuan pembentukan organisasi-organisasi ini adalah untuk mendukung militer Jepang dalam upaya mempertahankan diri dari serangan balik pasukan Sekutu, termasuk Belanda, yang berkeinginan merebut wilayah Indonesia kembali.
Pembentukan PETA sebenarnya merupakan usulan dari pihak Indonesia. Melansir Api Sejarah Jilid II (2006) yang disusun Ahmad Mansyur Suryanegara, keinginan membentuk PETA didukung penuh oleh Gatot Mangkoepradja.
Gatot Mangkoepradja sendiri adalah salah satu tokoh pergerakan nasional. Pada 4 Juli 1927, ia turut membentuk Partai Nasional Indonesia (PNI) bersama Ir. Sukarno dan sejumlah tokoh lainnya. Gatot Mangkoepradja juga ikut ditangkap pada 1929 dan dipenjara oleh Belanda bersama Sukarno.
Struktur PETA dan pelatihan
Dalam struktur PETA, dikenal tingkatan pangkat yaitu Daidanco (Komandan Batalyon), Cudanco (Komandan Kompi), Shodanco (Komandan Peleton), Budanco (Komandan Regu), dan Giyuhei (Prajurit Sukarela).
Untuk menjadi calon perwira tentara PETA, Jepang mensyaratkan bakat kepemimpinan, jiwa dan fisik sehat, serta stabilitas mental. Seleksi dilakukan di ibu kota kabupaten (ken) atau kota madya (shi), yang kemudian dilanjutkan di ibu kota karesidenan (shu) untuk pemeriksaan kesehatan.
Seleksi dilakukan pada awal bulan Oktober 1943 dan hasilnya diumumkan dua minggu kemudian. Angkatan kedua pendidikan PETA dimulai pada April 1944. Pendidikan untuk daidancho, hanya dua bulan. Sedangkan untuk chudancho dan shudancho latihannya 3-4 bulan. Mereka berlatih di kompleks militer eks Belanda, 700 meter dari istana presiden di Bogor. Pusat latihan itu diberi nama Jawa Bo-ei Giyugyun Kanbu Renseitai, dibuka resmi pada 15 Oktober 1943.
Angkatan kedua pendidikan perwira Peta dilantik pada 10 Agustus 1944. Mereka diberi samurai dan disebar ke 55 daidan di daerah pantai selatan Jawa. Sebagai daidancho, Soedirman(Kelak menjadi Jenderal Sudirman)ditempatkan di Kroya Banyumas, Jawa Tengah, didampingi shoko shidokan, perwira Jepang yang bertugas sebagai pengawas dan penasihat teknis kemiliteran, Letnan Fujita.
Langkah antisipasi apabila pasukan Sekutu menyerang
PETA dijadikan tentara teritorial untuk mempertahankan Jawa, Bali, dan Sumatera oleh Jepang. Hal itu sebagai langkah antisipasi apabila pasukan Sekutu menyerang.
Saat itu, Jepang mendapat tekanan dengan kemungkinan serangan dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, hingga Belanda yang berada di garis depan pertempuran Asia Pasifik yang menjadi rangkaian Perang Dunia II.
Kelak, PETA berperan besar dalam perang mempertahankan kemerdekaan RI, dan menjadi bagian penting dari riwayat pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal-bakal dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Penyebab Pemberontakan PETA di Blitar dan Tokohnya
Supriyadi merasa resah dengan nasib rakyat Indonesia di bawah pendudukan pemerintah Jepang. Banyak orang yang dijadikan pekerja paksa (romusha), dibebani pajak tinggi, bahkan dirampas hasil pertaniannya. Perlakuan tentara Jepang terhadap kaum perempuan Indonesia juga menjadi alasan kebencian Supriyadi terhadap bangsa penjajah itu.
Di dalam PETA sendiri juga muncul perlakuan diskriminasi. Prajurit pribumi atau orang Indonesia diwajibkan memberi hormat kepada tentara Jepang, sekali pun orang Jepang itu berpangkat lebih rendah.
Baca juga : Puputan Margarana : pertempuran sampai mati Kolonel I Gusti Ngurah Rai
Jalannya pemberontakan
Serangan juga diarahkan ke markas Kempetai, yang letaknya di samping barak Daidan PETA Blitar. Dalam pemberontakan itu juga dilakukan pengibaran bendera merah putih di depan markas PETA Blitar yang dilakukan oleh Shodanco Partohardjono.
Beberapa tentara Jepang tewas akibat gerakan ini. Pasukan PETA pimpinan Supriyadi juga berhasil membawa banyak perlengkapan dan logistik, termasuk persenjataan.
Konon bendera merah putih sempat berkibar selama kurang lebih dua jam sebelum diturunkan. Pemberontakan itu langsung direspons Jepang dengan pengerahan pasukan dan perundingan.
Blitar dikepung oleh satu peleton tentara Jepang yang datang dari Kediri dan Malang. Bahkan ratusan tentara Heiho juga dikerahkan ke Blitar.
Akhirnya semua yang terlibat dalam pemberontakan dapat ditangkap dan diajukan ke pengadilan militer.
Baca juga : 23 Oktober 1944, Battle of Leyte Gulf : Mimpi buruk armada laut dan udara Jepang
Baca juga : 15 Oktober 1945, Pertempuran Lima Hari di Semarang
Akhir Pemberontakan PETA di Blitar: Misteri Supriyadi
Beberapa versi kemudian muncul. Ada menyebut bahwa Supriyadi gugur dalam pertempuran melawan Jepang, ada pula yang memperkirakan Supriyadi tewas diterkam binatang buas di hutan dalam pelariannya, namun ada juga yang mengatakan bahwa Supriyadi bersembunyi dari Jepang dan tidak pernah ditemukan.
Rekan seperjuangan Supriyadi, Kemal Idris, dalam autobiografinya bertajuk Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi (1997) yang ditulis Rosihan Anwar, masih mengingat masa-masa tersebut.
Ditembak oleh satu regu tentara Jepang
“Pada peristiwa yang tragis itu saya ingat dengan teman saya Supriyadi. Dia menghilang tak tentu rimbanya. Saya kira dia dibunuh oleh Jepang,” tulis Kemal Idris.
Setelah merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan pemerintahan sendiri. Pada 6 Oktober 1945, Ir. Sukarno selaku Presiden RI mengumumkan susunan kabinet. Nama Supriyadi dinyatakan sebagai Menteri Keamanan Rakyat.
Namun, Supriyadi ternyata tidak pernah muncul lagi. Pada 20 Oktober 1945, posisinya digantikan oleh Imam Muhammad Suliyoadikusumo sebagai menteri ad interim. Pemerintah RI kemudian menetapkan Supriyadi sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 9 Agustus 1975.
Baca juga : 29 Juli 1947, Pemboman Udara Pertama Indonesia : Peristiwa Pengeboman Semarang Salatiga Ambarawa