ZONA PERANG (zonaperang.com) Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 5 April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler(3 July 1818 – 14 April 1873) dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3.198 tentara termasuk 168 perwira.
Perang Aceh–Belanda atau disingkat Perang Aceh atau Perang Kafir adalah perang Kesultanan Islam Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Konflik militer bersenjata ini dipicu oleh diskusi antara perwakilan Aceh dan Amerika Serikat di Singapura pada awal tahun 1873. Perang tersebut merupakan bagian dari serangkaian konflik pada akhir abad ke-19 yang mengkonsolidasikan kekuasaan Belanda atas Indonesia modern.
Kampanye tersebut menuai kontroversi di Belanda karena foto dan laporan korban tewas. Pemberontakan berdarah yang terisolasi dan lebih kecil berlanjut hingga akhir tahun 1914 dan bentuk perlawanan Aceh yang tidak terlalu keras terus berjalan hingga Perang Dunia II dan saat pendudukan Jepang.
Baca juga : Foto kekejaman Belanda di Aceh (Foto yang paling sering melintas di TL)
Baca juga : Ketika Amerika Menginvasi Aceh pada 1832
Latar belakang
Hampir sepanjang abad ke-19, kemerdekaan Aceh telah dijamin oleh Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1824 dan statusnya sebagai protektorat Kesultanan Utsmaniyah sejak abad ke-16.
Selama tahun 1820-an, Aceh menjadi kekuatan politik dan komersial regional, memasok setengah dari lada dunia, yang meningkatkan pendapatan dan pengaruh raja-raja feodal lokal. Meningkatnya permintaan lada Eropa dan Amerika menyebabkan serangkaian pertempuran diplomatik antara Inggris, Prancis, dan Amerika.
Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah (1838–1870), Kesultanan Aceh membawa raja-raja daerah di bawah kendalinya dan memperluas wilayah kekuasaannya ke pantai timur. Namun, kecenderungan ke selatan ini berbenturan dengan ekspansi kolonialisme Belanda ke utara di Sumatera.
Pembukaan Terusan Suez
Menyusul pembukaan Terusan Suez tahun 1869 dan perubahan rute pelayaran, Inggris dan Belanda menandatangani Traktat Anglo-Belanda 1871 di Sumatera yang mengakhiri klaim teritorial Inggris atas Sumatera, yang memberikan kebebasan kepada Belanda dalam lingkup pengaruh mereka di Maritim Asia Tenggara serta menyerahkan mereka tanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap pembajakan.
Sebagai imbalannya, Inggris menguasai Pantai Emas Belanda di Afrika dan hak komersial yang sama di Siak. Ambisi teritorial Belanda di Aceh didorong oleh keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya, terutama lada hitam dan minyak, dan untuk menghilangkan pemain negara asli yang independen. Belanda juga berusaha untuk menangkal kekuatan kolonial saingan yang berambisi di Asia Tenggara, khususnya Inggris dan Prancis.
Mencoba mendapatkan dukungan Amerika Serikat
Pada tahun 1873, negosiasi berlangsung di Singapura antara perwakilan Kesultanan Aceh dan Konsul Amerika setempat mengenai kemungkinan perjanjian bilateral.
Belanda melihat ini sebagai pelanggaran perjanjian sebelumnya dengan Inggris pada tahun 1871(karena dilangsungkan di daerah kekuasaan Inggris) dan dapat mengancam rencana perluasan imprialisme mereka lalu menggunakan ini sebagai kesempatan untuk mencaplok Aceh secara militer.
Baca juga : (Actually) Tujuan Bangsa Eropa Datang ke Indonesia
Baca juga : Laksamana Malahayati (Keumalahayati), Pahlawan Perempuan Penumpas Cornelis de Houtman
Operasi tempur
Strategi
Belanda mencoba satu demi satu strategi selama beberapa dekade. Pada tahun 1873 mereka mencoba satu serangan cepat, tetapi gagal. Mereka kemudian mencoba blokade laut, rekonsiliasi, konsentrasi dalam barisan benteng, lalu penahanan pasif.
Mereka hanya memiliki sedikit keberhasilan. Biaya perang mencapai 15 hingga 20 juta gulden per tahun, pengeluaran yang besar untuk strategi yang gagal dan ini hampir membuat pemerintah kolonial bangkrut.
Serangan Belanda pertama / Ekspedisi Aceh Pertama
Sebuah ekspedisi di bawah Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler dikirim pada tanggal 26 Maret 1873, yang membombardir ibukota Banda Aceh dan mampu menduduki sebagian besar wilayah pesisir pada bulan April.
Niat Belanda saat itu untuk menyerang dan mengambil alih istana Sultan dengan cepat yang juga akan menyebabkan pendudukan seluruh negeri secara teori.
Sultan meminta dan kemungkinan menerima bantuan militer dari Italia dan Inggris di Singapura. Bagaimanapun juga, tentara Aceh dengan cepat dimodernisasi dan diperbesar dengan angka berkisar antara 10.000 hingga 100.000 prajurit.
Belanda mundur
Meremehkan kemampuan militer orang Aceh, Belanda membuat beberapa kesalahan taktis dan kerugian berkelanjutan termasuk kematian Köhler dan 80 tentara. Kekalahan ini merusak moral dan prestise pasukan Belanda.
Mereka Terpaksa mundur lalu memberlakukan blokade laut terhadap Aceh.
Dalam upaya untuk mempertahankan kemerdekaan Aceh, Sultan Mahmud meminta bantuan langsung kepada kekuatan Barat lainnya dan Ottoman Turki, tetapi tidak banyak berhasil.
Walaupun Konsul Amerika bersimpati, posisi pemerintah Amerika tetap netral. Karena posisi yang sudah lemah di panggung politik internasional Kekaisaran Ottoman tidak banyak berbuat dan Inggris menolak untuk campur tangan karena hubungan mereka dengan Belanda. Hanya Prancis yang setuju untuk menanggapi seruan Sultan Alauddin Muhammad Da’ud Syah II (1864 – 6 February 1939)
Baca juga : Legiun Mangkunegaran : Tentara Jawa dengan pendidikan Eropa
Baca juga : Marsose, KNIL dan Londo Ireng
https://www.youtube.com/watch?v=0zTzW0Ht95E