- Pada 7 Desember 1975, dunia menyaksikan salah satu operasi militer paling kontroversial dan mengejutkan dalam sejarah ASEAN, yang merupakan invasi militer terbesar dalam sejarah Indonesia.
- Pada tanggal 7 Desember 1975, Indonesia melancarkan Operasi Seroja, sebuah operasi militer besar-besaran untuk mengambil alih Timor Timur (sekarang Timor-Leste) setelah terjadi kekacauan politik di wilayah tersebut. Latar belakang operasi ini dipengaruhi oleh kekhawatiran internasional, terutama Amerika Serikat, terhadap berkembangnya komunisme di Asia Tenggara. Peristiwa ini menjadi salah satu contoh bagaimana politik global pada masa Perang Dingin turut mempengaruhi keputusan-keputusan geopolitik di kawasan.
ZONA PERANG (zonaperang.com) – Dengan persetujuan dari US President. Gerald R. Ford dan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger, Indonesia menginvasi bekas jajahan Portugis di Timor Timur pada tanggal 7 Desember 1975. Dalam buku Eurico Guterres: Saya Bukan Siapa-siapa (2015: 70), yang disusun Hukman Reni menyebut, “Indonesia cuma disuruh Amerika Serikat masuk Timor Timur karena ketakutannya pada komunisme pada waktu itu.”
Amerika Serikat tetap menjadi sekutu kuat Indonesia selama sebagian besar periode, memberikan bantuan, dukungan diplomatik, dan pelatihan militer. Tapi setelah kasus penembakan Santa Cruz Dili tahun 1991 ETAN(East Timor and Indonesia Action Network) dibentuk untuk menentang kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia, untuk meningkatkan kesadaran publik, dan untuk mendukung perjuangan rakyat Timor untuk kemerdekaan.
Mereka mengadakan hari lobi untuk Kongres dan mengadvokasi (dan memantau) tindakan legislatif tentang transfer senjata dan pelatihan militer AS untuk Indonesia. LSM tersebut juga mengorganisir demonstrasi, protes, dan aksi langsung lainnya untuk mendorong revisi kebijakan AS terhadap Indonesia hingga mendorong pemungutan suara kemerdekaan yang diawasi PBB pada tahun 1999 dan pembentukan Republik Demokratik Timor-Leste pada tahun 2002.(Britannica)
Baca Juga : Sapi Merah, Al-Aqsa dan Motif Operasi Militer 7 Oktober
Baca Juga : 16 Oktober 1975, Peristiwa Balibo Five : Tewasnya 5 jurnalis Australia ketika operasi Seroja di Timor Timur
Kronologis
Sebelum Operasi Seroja, pemerintah RI sudah melancarkan operasi intelijen dengan nama sandi Operasi Komodo pada 1974 untuk mencari info terkait politik di Timor Timur yang berpusat di Dili. Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite histoire” Indonesia Volume 1 (2004) menuliskan, Operasi Komodo dipimpin oleh Ali Moertopo dan bertujuan memasukkan Timor Timur ke dalam wilayah Republik Indonesia.
Hasil penyelidikan ini terungkap bahwa Fretilin yang berpaham komunis dan menginginkan kemerdekaan lebih diminati oleh sebagian besar rakyat Timor Timur. Itulah yang menjadi alasan pemerintah RI dan AS melancarkan Operasi Seroja pada 7 Desember 1975. Terlebih, tanggal 28 November 1975, Fretilin menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Republik Demokratik Timor Leste.
Malam tanggal 7 Desember 1975, Dili jatuh. Tiga hari berselang, giliran kota terbesar kedua di Timor Timur, Baucau, yang direbut oleh militer Indonesia. Hanya setengah tahun sejak itu, tepatnya 17 Juli 1976, Timor Timur sepenuhnya dikuasai dan resmi menjadi bagian dari NKRI sebagai provinsi ke-27.
Situasi ini bertahan selama Orde Baru berkuasa di Indonesia. Setelah Soeharto dan Orde Baru runtuh pada 1998, diadakan referendum di Timor Timur pada 30 Agustus 1999. Hasilnya, wilayah ini lepas dari Indonesia dan berdiri sebagai negara sendiri bernama Timor Leste sejak 2002 hingga kini.
Kesalahan Strategi
Operasi Seroja yang tak selamanya berlangsung mulus sehingga banyak korban menimpa pasukan bisa dikata buah dari ketidakcermatan ABRI dalam memetakan wilayah, selain juga tak maksimalnya koordinasi antardivisi. Salim Said, dalam buku berjudul Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016), menulis bahwa ketika tiba di Dili pasukan penerjun malah saling baku tembak. Informasi intelijen juga acap kali tak akurat. Sebagai contoh, Sungai Comoro yang dikabarkan penuh buaya nyatanya kering dan tidak berbahaya.
Tak ketinggalan, dan ini yang paling mendasar, terdapat kesalahpahaman antarpetinggi ABRI dalam memaknai operasi militer di Timor Timur. Panglima ABRI kala itu, Jenderal TNI Maraden Panggabean, menerima informasi bahwa operasi Timor Timur merupakan operasi intelijen. Akan tetapi, oleh Benny Moerdani, yang merupakan salah satu tokoh kunci aneksasi Timor Timur, operasi militer tersebut diartikan sebagai operasi konvensional disertai operasi lintas udara.
“Kesalahan strategis dalam kampanye militer di Timor Timur dulu adalah merebut kota-kota besar dengan sangat tergesa-gesa tanpa terlebih dahulu mengepungnya dari pedalaman atau desa-desa,” ungkap A. M. Hendropriyono, mantan perwira Kopassus dan bertugas di Timor Lorosae, seperti dicatat Salim dalam bukunya.
Operasi Seroja melibatkan semua unsur angkatan bersenjata Indonesia, termasuk Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Invasi ini berlangsung dengan cepat dan brutal, menyebabkan ribuan korban jiwa di kalangan tentara dan warga sipil1. Meskipun berhasil menguasai Timor Timur, Indonesia menghadapi perlawanan sengit dari gerilyawan Fretilin selama bertahun-tahun.
Baca Juga : Simfoni Maut: Efek Teror Psikologis dan Ikon Ketakutan Junkers Ju 87 Stuka Jerman
Latar Belakang Politik Timor Timur
Timor Timur adalah bekas koloni Portugis yang terletak di bagian timur Pulau Timor. Setelah Revolusi Anyelir di Portugal pada tahun 1974, pemerintah baru di Lisbon memutuskan untuk meninggalkan wilayah-wilayah koloninya, termasuk Timor Timur. Sejak itu, Timor Timur jatuh dalam ketidakstabilan politik, dengan beberapa faksi berjuang untuk kekuasaan.
Di antara faksi-faksi tersebut, Fretilin (Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente) muncul sebagai salah satu kekuatan utama yang menginginkan kemerdekaan Timor Timur. Namun, keberhasilan Fretilin yang berpandangan kiri ini menimbulkan kekhawatiran, terutama di Indonesia dan Amerika Serikat, bahwa Timor Timur yang merdeka akan jatuh ke dalam pengaruh komunisme
Ketakutan Amerika Serikat terhadap Komunisme
Di tengah Perang Dingin, Amerika Serikat sangat waspada terhadap meluasnya pengaruh komunisme di dunia, terutama di kawasan Asia Tenggara yang dianggap rawan setelah jatuhnya Vietnam Selatan ke tangan Viet Cong pada tahun 1975. AS khawatir bahwa keberhasilan Fretilin di Timor Timur akan menciptakan rezim komunis baru di kawasan tersebut, yang kemudian akan memperkuat posisi Soviet dan Cina.
“Doktrin Domino: Indonesia khawatir jika Timor Timur jatuh ke tangan komunis, maka negara-negara lain di kawasan juga akan terpengaruh.”
Presiden AS saat itu, Gerald Ford, dan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger, khawatir jika Timor Timur menjadi negara komunis, akan ada ancaman langsung terhadap stabilitas kawasan dan keamanan regional, terutama bagi negara-negara seperti Australia dan Indonesia. Pandangan ini mendorong Amerika Serikat untuk mendukung keputusan militer Indonesia dalam mengintervensi Timor Timur guna mencegah berdirinya pemerintahan yang pro-komunis.
Peran Amerika Serikat dalam Operasi Seroja
Dokumen-dokumen rahasia yang kemudian dibuka kepada publik menunjukkan bahwa Amerika Serikat secara diam-diam mendukung tindakan militer Indonesia. Ketika Gerald Ford dan Henry Kissinger mengunjungi Jakarta sehari sebelum invasi, mereka tidak hanya menyetujui, tetapi juga mendorong langkah militer Indonesia. Bagi Amerika, stabilitas Indonesia dan kawasan Asia Tenggara lebih penting daripada potensi pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur.
Dukungan ini datang dalam bentuk penjualan senjata dan bantuan militer yang terus diberikan oleh Amerika Serikat kepada Indonesia, meskipun invasi ini dikecam oleh komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menganggapnya sebagai pelanggaran kedaulatan Timor Timur.
Baca Juga : Keadaan Darurat Malaya: Perjuangan Panjang Melawan Pemberontakan Komunis
Baca Juga : “Kehancuran Amerika: Mengintip Masa Depan Suram dalam Film Civil War”