Angkatan Udara Kerajaan Inggris kehilangan enam pesawat pengebom tempur sayap ayun segala cuaca Panavia Tornado saat menyerang pangkalan udara Al Taqaddum dekat Baghdad pada hari Valentine 14 Februari 1991. Peluru kendali SA-3 Goa merontokkan mereka dari langit. Berikut salah satu kisah dari pilot yang pesawatnya berhasil dipaksa “mencium”tanah oleh pihak Irak.
ZONA PERANG (zonaperang.com) Setiap hari Valentine bulan Februari bagi Letnan Penerbang Rupert Clark adalah suatu hari yang tak pernah akan terlupakan sepanjang riwayat hidupnya. Di atas pangkalan udara Al Taqaddum 74 km barat ibu kota irak, pesawat jet Tornadonya berhasil dirontokkan rudal buatan Soviet S-125 Neva/Pechora Irak.
Bukan satu tapi dua Goa yang menyerang pesawatnya. Ia kehilangan navigator Letnan Penerbang Steven Hicks dan dirinya yang penuh luka akibat terkena serpihan SA-3, tertangkap hidup-hidup dan menjadi “tamu” istimewa Pemerintah Irak Saddam Hussein saat itu.
Tornado dan Buccaneer
Kisahnya bermula pada saat sinar matahari mulai menyingsing di Pangkalan Udara Muharraq, Bahrain (RAF Muharraq) saat roda pesawat Wing Commander John Broadbent lepas landas sebagai leader formasi delapan Tornado dan empat Blackburn Buccaneer yang diperintahkan untuk menyerang sejumlah sasaran di Al Taqaddum dalam operasi udara bernama Granby dalam lingkup Operasi Badai Gurun yang lebih besar(Operation Desert Storm, 17 January 1991 – 28 February 1991). Diantaranya menghancurkan bangunan pelindung pesawat HAS (Hardened Aircraft Shelter).
Setiap Tornado dipersenjatai dua 1.000 pon(453kg) laser-guided bomb (LGB). Sementara setiap Buccaneer menggotong Westinghouse AN/ASQ-153\AN/AVQ-23 Pave Spike designator pod untuk membuat laser-mark pada sasaran bom LGB Tornado. (Awalnya setiap Tornado akan dilengkapi GEC-Marconi TIALD laser designation agar mandiri tanpa tergantung pesawat lain tetapi tidak cukup waktu)
Direncanakan penyerangan dimulai pada pukul 08:40 pagi. Beda dengan penyerangan sebelumnya yang selalu dilakukan pada malam oleh pesawat General Dynamics F-111 Aardvark AU AS dan bertolak dari Lanud RAF Lakenheath Inggris.
Baca Juga : S-125/SA-3 GOA(1961) Uni Soviet, Rudal Pertahanan Udara “Tua” Penakluk Pesawat Siluman F-117 Nighthawk
Didukung USAF
Penyerangan ini dilakukan di pagi hari yang cerah. Lepas landas hampir bersamaan dengan pesawat penyerang Inggris, dua F-15C Eagle berkursi tunggal dan dua F-4G Wild Weasel yang menggotong AGM-88 HARM radar homing missile serta dua pesawat radar jamming EF-111 Raven USAF. Pesawat-pesawat AS ini adalah pendukung dari penyerangan angkatan udara kerajaan Inggris.
Sasaran : Pangkalan Utama AU Irak
Pesawat Tornado tiba di atas sasaran pada ketinggian 20.000 kaki(6.096m) yang direncanakan dalam briefing. Tak sedikit pun awan, langit biru bersih meski pada ketinggian lebih rendah tampak agak berkabut. Lanud Al Taqaddum sebelumnya telah dihajar beberapa kali.
Sejumlah tempat peluncuran SAM berhasil dibungkam. Pangkalan udara ini memang sangat tangguh pertahanannya sehingga meski sudah dihajar beberapa kali, masih bertahan. Tidak mengherankan karena Al Taqaddum merupakan salah satu pangkalan utama angkatan udara Irak(IrAF )sehingga berlapis-lapis pertahanannya.
Pesawat penyerang Inggris dikelompokkan dalam satuan tiga pesawat. Masing-masing terdiri dari sepasang Tornado dan sebuah Buccaneer. Setelah melepas bom, setiap Tornado terbang keluar dari area sasaran sementara navigator di Buccaneer membuat laser-mark pada sasaran HAS sampai bom jatuh meledak tepat pada target. Sebuah LGB 1.000 pon yang jatuh pada atap HAS secara teori mampu membuat lubang besar pada struktur bangunan dan merusak apapun yang berada di dalam bangunan.
Baca Juga : Rudal Anti Radiasi AGM-88 HARM (High-speed Anti-Radiation Missile), Amerika Serikat-1984
Baca Juga : 17 Januari 1991, MiG-25 Foxbat Irak Vs F/A-18C Hornet pada malam pertama Operasi Badai Gurun
Tampak normal
Giliran penyerangan terakhir Tornado GR. 1A adalah pesawat yang dipiloti Letnan Rupert Clark. Saat ia menurunkan ketinggian untuk menyerang guna menjatuhkan bom yang dibawa, semuanya tampak dari kokpit Rupert Clark normal saja. Baru sekitar lima detik sebelum mencapai titik melepas bom, ia melihat alat peringatan Hi Band RHWR (Radar Homing Warning Receiver) di kokpitnya nyala kerdip. Tanda ada rudal yang ditembakkan ke arahnya. Clark tetap meluncur ke sasarannya, sampai ke titik melepas bom. Sebuah bom berhasil ia jatuhkan tapi pada detik itulah semuanya berubah cepat menjadi suram.
Bom tidak mau lepas
Bom kedua tidak mau lepas dari kedudukannya meski segala upaya telah dilakukan oleh Letnan Steven Hicks. Tetap saja bom itu bandel, tak mau lepas. Saat bersamaan, Clark mendengar melalui headset yang mendirikan bulu roma rambutnya. “Dua rudal menuju kepada sasaran.” Melalui layar RHWR ia jelas melihat sinyal penuntun musuh diarahkan ke pesawatnya. Sebuah Goa telah diluncurkan dan sedang menuju dirinya.
Terdengar suara rekannya, Hicks: “Break left,” sambil ia melepas chaff dari Saab BOZ-107 yang berada di sebelah kanan luar sayap sebagai upaya mengecoh SA-3 berpemandu radar yang tengah meroket cepat ke arah Tornado. Clark langsung memberi tenaga penuh pada mesin turbofan Turbo-Union RB199 pesawat, menurunkan manoeuvering flap sambil membuat kelokan tajam ke kanan.
Baca Juga : 27 Maret 1999, Pesawat Siluman F-117 Nighthawk Amerika ditembak jatuh rudal tua SA-3 “Goa” Serbia
Baca Juga : 6 Oktober 1973, Perang Yom Kippur Dimulai.
Meledak
Clark mengingat detik itu sebagai berikut. “Arah kami ke utara saat ada ledakan dahsyat. Saya merasakan gelombang getar ledakannya menghantam pesawat. Saya berteriak kepada Steve, Anda oke? Tapi tidak ada jawaban.”
Rudal yang meledak itu adalah sebuah SA-3 Goa rancangan Almaz Central Design Bureau yang meledak beberapa kaki(1 kaki=30cm) dari sisi kiri badan pesawat. Serpihan rudal berhululedak berfragmentasi seberat 60kg itu merobek masuk ke Tornado, merusak parah pesawat Clark. Tekanan udara dalam kokpit langsung menghilang dari lubang 2 inci dibuat oleh pecahan SA-3 yang tiba- tiba muncul pada kanopi sebelah kiri, tepat di atas kepala Clark.
Ia sempat bersyukur bahwa dirinya lolos dari maut. Ia tidak bisa menghitung jumlahnya(pecahan) karena terlalu banyak lampu merah yang menyala pada panel instrumen. Kaca head-up display (HUD) hilang diterjang pecahan rudal. Hanya ada dua jarum penunjuk yang masih utuh pada panel instrumen. Namun kedua jarum salah satu adalah penunjuk hidrolik, menunjuk angka nol.
Rudal ke-2
Tidak ada waktu sedetikpun bagi Clark untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Pikirannya melayang ke SA-3 kedua yang sedang meluncur menuju Tornadonya yang sudah kepayahan itu.
“Saya menggerakkan tongkat kemudi, overbanked guna menghindari pesawat dari rudal buatan soviet kedua yang juga sudah menundukan F-16 Amerika tanggal 19 Januari sebelumnya. Saya melihat rudal itu datang tegak lurus ke saya sambil sedikit waggle (bergoyang) saat dituntun radar SNR-125 “Low Blow” ke arah saya. Saya menarik sekuat tenaga tongkat kemudi, karena memang tidak ada cara lain yang saya bisa lakukan. Rudal itu hilang dari pandangan saya sejenak tapi lalu berada di belakang sebelah kanan pesawat. Ledakan dahsyat kedua terdengar saat rudal meledak,” kenang Clark.
Kembali Clark memanggil navigatornya, tapi kembali tidak ada jawaban dari belakang. Biasanya bila memanggil Steve, ia selalu disambut oleh wajah Steven Hicks dengan senyuman lebarnya. Ia menengok kanan-kiri pundaknya, tetapi tidak melihat rekannya. Perasaan lain seketika menjalar ke seluruh tubuhnya.
Baca Juga : Kemenangan F-16 dan “Kill” Pertama untuk AIM-120 AMRAAM Amerika
Terluka
Apalagi ia baru sadar bahwa lumuran darah membasahi dirinya dari beberapa luka yang dideritanya. Sekejap dirinya sadar bahwa dia harus menjauhkan pesawatnya sejauh mungkin dari sasaran bom yang Clark jatuhkan. Ia tidak ingin jadi tawanan dan sadar betul bahwa setiap menit ia berhasil menjauhi Tornado berarti dirinya dan rekannya akan lebih dekat enam atau tujuh mil(11km) dari upaya bantuan evakuasi SAR.
Sepintas ia mengamati pesawatnya sudah cukup memberi gambaran bahwa Tornado rusak berat. Sayap dan tangki cadangan penuh lubang dan ia melihat bahan bakar mengalir keluar meninggalkan jejak putih di belakang pesawat. Slat pada leading edge sayap kanannya rusak dan didapati berdiri di atas sayap, suatu pemandangan yang kurang enak dilihat.
Manual
Dengan sistem hidrolik rusak, pesawat denagn sistem fly-by-wire hybrid ini otomatis beralih ke mode terbang manual. Clark mendapatkan jika dia mendorong keras kemudi tongkatnya, respon pesawat sangat lambat. Tidak ada cara baginya untuk mengetahui apakah mesin pesawat masih berfungsi, tapi jelas dari perasaan saat memegang kontrol pesawat, Tornado kehilangan tenaga. Clark segera melakukan prosedur darurat, mencoba menghidupkan mesinnya. Tapi upayanya nihil. Mesin tidak mau hidup.
Tornado dengan instrumennya mati, tak ubahnya pesawat luncur yang lousy, amat buruk. Hidung pesawat beberapa kali dinaikkan dalam upaya memperpanjang daya luncur. Setiap kali dia melakukan manuver tersebut, tingkat bunyi bersamaan dengan kecepatan pesawat menurun.
Clark tidak punya pegangan tingkat bunyi yang mana sesuai dengan kecepatan stall pesawat Tornado dalam kondisi semacam yang dihadapinya. Ia kemudian menurunkan sudut hidung pesawat sampai bunyi angin terdengar sesuai dengan tingkat luncur menurun pesawat, lalu mempertahankannya.
Baca Juga : 6 Februari 1991, A-10 Thunderbolt II Amerika VS MBB Bo-105 Irak (Operasi Badai Gurun)
Keputusan harus diambil
Pada ketinggian 10.000 kaki(3km), Clark mendapatkan pesawatnya sulit dikendalikan. Ia harus lebih banyak mengarahkan tongkat kemudinya ditekan ke kanan terus menerus sampai mentok penuh ke kanan agar bisa mempertahankan pesawatnya tetap terbang level. Meski begitu, pesawat tetap saja condong ke kiri. Setelah beberapa waktu, Clark berpikir tidak ada guna mempertahankannya lebih lama. Lalu mengambil keputusan keluar sebelum ia tidak bisa lagi mengendalikan pesawat.
Sebelum keluar pesawat dengan kursi lontar, sekali lagi ia memanggil Steven Hicks. Begitu tidak ada jawaban, Clark melepas pegangannya pada tongkat kemudi. Tangannya berpindah pada gagang diantara kedua kaki untuk menghidupkan roket pelontar kursi.
Kursi Lontar
Bila pilot menariknya, kursi navigator yang pertama dilontarkan keluar dari kokpit pesawat, disusul dalam hitungan detik, kemudian kursi pilotnya. Clark mendengar ledakan keras disusul asap hitam saat roket pelontar kursi Martin Baker Mk. 10A menyala dan melepas kanopi. Terdengar lagi satu ledakan saat kanopi belakang lepas dan kursi lontar navigator keluar dari badan pesawat. Detik kemudian, kursi Clark dilontarkan keluar pesawat.
Beberapa saat kemudian, Clark mendapatkan dirinya bergelayutan dengan parasut. Sunyi damai di sekelilingnya. Perasaannya juga ikut merasakan kedamaian sejenak dari perasaan traumatik beberapa menit sebelumnya kala pesawatnya terkena rudal SA-3 seberat mampir 1 ton itu, lalu mencoba mempertahankan laju terbang pesawatnya dan terakhir hingar-bingar ledakan saat kursi dilontarkan keluar Tornado.
Clark dengan jelas melihat detik-detik akhir sebelum pesawatnya membentur bumi seribu satu malam Irak dengan bunyi ledakan dashyat. Api langsung membakar pesawat dari sisa bahan bakar avtur JP-8 yang terdapat dalam badan Tornado. Disusul asap hitam pekat membumbung tinggi ke langit sekaligus memberi lokasi jatuhnya pesawat. Disusul detik kemudian letusan-letusan dari 180 butir peluru kanon Mauser BK-27 mm.
Tidak sadar diri
Melihat pemandangan dari atas langit, Clark memperkirakan ia akan mendarat tidak jauh dari reruntukan pesawat yang membara panas. Selain peluru kanon, masih ada sebuah bom 1.000 pon yang belum meledak, diluar dua rudal AIM-9L Sidewinder yang mempersenjatai Torando.
Dengan susah payah ia mencoba mengendalikan parasut agar mendarat jauh dari lokasi jatuh pesawat. Sewaktu mendarat, ia masih sempat melihat parasut navigator mendarat tidak jauh dari dirinya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Ia simpulkan bahwa Steve Hicks rupanya tidak pernah sadarkan diri setelah Goa pertama meledak dekat Tornado.
Clark berhasil mendarat beberapa ratus yard dari pesawat. Setelah melepas harness parasut, segera latihan survival yang pernah ia ikuti mengambil peranan pada dirinya. Matanya hanya mendapatkan sejauh mata memandang dataran gurun yang menghampar sampai ke horison.
“Tidak ada tempat bersembunyi. Hanya pada arah selatan tampak seperti gundukan batu dan saya berpikiran itulah tempat yang terbaik saya tuju. Saya mengambil survival pack kemudian berjalan kaki menuju arah gundukan batu itu. Tetapi setelah 200 m berjalan, saya merasakan terlalu berat membawa survival pack. Saya memutuskan membuang (perahu) dinghy. Saya mulai membuka survival pack dengan hati-hati sekali supaya jangan sampai dinghy menggembung tapi tiba-tiba psssssss…dinghy oranye (menyala) itu mulai menggembungkan sendiri.
Tidak ada pilihan lain bagi Clark kecuali jalan menuju arah yang semula ia akan tuju. Dia pun sadar sebentar lagi akan datang tentara Irak ke lokasi jatuh. Saat itu asap hitam pekat masih menjulangtinggi ke langit. Apalagi diiringi dentumandentuman yang tambah menarik perhatian orang. Tidak jauh dari reruntukan pesawat dijumpai parasutnya, lalu jejak sepatunya yang mengarah ke perahu dinghy berwarna oranye menyala. Dari sini, jejak sepatu Clark yang tengah berlari sekuat tenaga, jelas membekas di gurun.
Tawanan Perang
Clark hanya menghirup udara bebas di padang pasir tidak lebih dari seperempat jam. Seorang sipil dengan senapan dibahunya berkendaraan sepeda motor meluncur ke dirinya. Melihat tidak ada peluang untuk melarikan diri, Clark mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil menyerahkan diri. Mulailah detik itu babak baru kehidupannya sebagai tawanan perang Irak.
Secara kebetulan, Clark ditempatkan dalam satu sel dalam penjara Irak dengan dua penerbang Tornado lainnya. Letnan Penerbang John Peters dan Letnan Penerbang John Nichols. Kedua penerbang AU Kerajaan Inggris ini, pesawatnya ditembak jatuh pada Januari 1991 dan kisah kedua penerbang dibukukan dalam “Tornado Down” pada 1992. Sementara kisah Letnan Penerbang Rupert Clark dikisahkan dalam buku Sky Battles Dramatic Warfare Actions” karangan Alfred Price, diterbitkan Penerbit Arms and Armour Press 1993, lalu oleh Cassell Military Classic edition 1998 dan dicetak ulang pada tahun 1999.
PANAVIA TORNADO GR MK 1
• Fungsi: pesawat penyerang dan reconnaissance kursi ganda bersayap sayung
• Tenaga : 2 mesin trubofan Turbo-Union RB199 masing-masing berdaya dorong 15.000 pon dengan afterburner
• Persenjataan : berat maksimum senjata operasi tempur 10.000 pon atau delapan 1.100 pon bom atau dua sampai tiga laser-guided bom 1.000 LGB, dua kanon Mauser 27mm, dua AIM9L Sidewinder infra-red homing missile.
• Performa : kecepatan maksimum dengan menggotong penuh persenjataan pada ketinggian rendah, 680 mil/jam atau tanpa senjata penuh lebih dari 1.450 mil/jam (Mach 2,2) • Maximum gross take-off weight: 60.000 pon
• Ukuran : bentangan sayap 45 kaki 7 inci, sayung 28 kaki 2 inci, panjang 54 kaki 9,5 inci, luas sayap 323 kaki persegi
. Produksi pertama Tornado GR.1: Juni 1979
https://www.youtube.com/watch?v=g6LnLVsKHwk&t=81s
Baca Juga : 6 Hal yang Perlu Diketahui Tentang Operasi Badai Gurun 1991(Perang Teluk)
Sumber: Angkasa No.6 Maret 2005 TahunXV serta sumber-sumber lainya