- Gaza dan Hak Kembali: Melawan Penghapusan Identitas Palestina
- Dari Trail of Tears hingga Nakba: Bahaya Pemindahan Paksa dalam Konflik Modern
- “Relokasi Gaza: Pelajaran dari Sejarah yang Tidak Boleh Terulang”
ZONA PERANG (zonaperang.com) Rencana pemindahan penduduk Gaza ke negara-negara Muslim, termasuk Indonesia, yang disebut sebagai solusi sementara untuk menyelamatkan warga yang terluka akibat konflik, bukanlah alternatif yang baik. Mengacu pada sejarah panjang pemindahan paksa di berbagai belahan dunia, langkah ini berisiko menciptakan dampak jangka panjang yang menghancurkan bagi identitas, budaya, dan hak-hak masyarakat Palestina.
Relokasi Penduduk Gaza: Sebuah Rencana yang Mengabaikan Sejarah dan Kemanusiaan
Agenda relokasi penduduk Gaza ke negara-negara Muslim lain, termasuk Indonesia, adalah langkah yang tampak seperti jawaban sementara tetapi sebenarnya mengandung risiko besar bagi masa depan rakyat Palestina.
Pergeseran lokasi ini bukan hanya soal memindahkan manusia dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga tentang menghapus identitas, sejarah, dan hak mereka atas tanah yang telah menjadi bagian dari perjuangan mereka selama puluhan tahun.
Baca juga: Mengapa Korban Perang di Pihak Israel Terlihat Lebih Sedikit?
Baca juga: Der Judenstaat, Theodor Herzl dan Perampasan Tanah Palestina
Bayang-Bayang Pengusiran: Mengapa Memindahkan Penduduk Gaza Bukan Jawaban
Membayangkan Kita bangun suatu pagi dan mendengar kabar bahwa rumah Kita—tempat leluhur Anda dan Kami menanam akar selama berabad-abad—akan diambil. Anda diberi tahu untuk pergi, “hanya sementara,” ke negeri asing, dengan janji manis bahwa ini untuk “kebaikan Anda.”
Hati Anda tahu ini bukan sekadar pindah rumah; ini adalah pengusiran yang disamarkan sebagai belas kasihan. Inilah yang kini mengintai penduduk Gaza: sebuah rencana yang dikabarkan didorong oleh Amerika Serikat, dengan dukungan penjajah Israel, untuk memindahkan mereka ke negara-negara Muslim seperti Indonesia, Mesir, atau Yordania. Alasannya? Menyembuhkan yang terluka, memberikan perlindungan sementara. Tapi sejarah berteriak keras: ini bukan solusi—ini jebakan berbahaya yang mengancam menghapus identitas sebuah bangsa.
Sebagai orang yang belajar dari luka masa lalu, kita tidak bisa diam. Rencana ini bukan hanya salah secara moral, tapi juga bencana dalam segala hal—politik, budaya, dan kemanusiaan. Mari kita bongkar satu per satu, dengan mata terbuka dan hati yang jernih, mengapa memindahkan penduduk Gaza adalah pengkhianatan terhadap keadilan, dan bagaimana sejarah telah menunjukkan bahwa “pemindahan sementara” sering menjadi kode untuk pengusiran abadi.
1. Sejarah Mengajarkan: Pemindahan Adalah Pengusiran
Kata “sementara” dalam konteks ini adalah ilusi yang berbahaya. Sejarah dipenuhi kisah pemindahan yang berujung pada kepunahan budaya dan kehilangan tanah air. Ambil contoh Suku Indian Amerika. Pada abad ke-19, melalui Indian Removal Act 1830, ribuan Cherokee, Choctaw, dan suku lain dipaksa meninggalkan tanah leluhur mereka di Georgia dan Tennessee menuju “reservasi” di Oklahoma.
Pemerintah AS berjanji ini untuk “perlindungan” mereka, tapi Trail of Tears—perjalanan maut yang membunuh ribuan orang—membuktikan sebaliknya. Tanah mereka dirampas, budaya mereka terkikis, dan hingga kini, banyak suku hidup dalam bayang-bayang marginalisasi. Apakah Gaza akan jadi “Trail of Tears” baru?
“Pemindahan paksa penduduk asli Amerika pada abad ke-19 melalui Trail of Tears adalah contoh nyata bagaimana pemindahan populasi dapat menghancurkan budaya dan kehidupan masyarakat. Sekitar 60.000 anggota suku Cherokee, Muscogee, Seminole, Chickasaw, dan Choctaw dipaksa meninggalkan tanah leluhur mereka menuju wilayah baru yang disebut “Indian Territory.” Ribuan orang meninggal akibat kelaparan, penyakit, dan kondisi perjalanan yang buruk. Pemindahan ini tidak hanya menghilangkan hak atas tanah mereka tetapi juga memutus hubungan spiritual mereka dengan tanah leluhur.”
Lihatlah Aborigin Australia. Mulai abad ke-18, kolonis Inggris mengusir mereka dari tanah subur ke pinggiran gurun, dengan dalih “peradaban.” Stolen Generations—anak-anak Aborigin yang dipisahkan dari keluarga untuk “diasimilasi”—adalah luka yang masih berdarah hingga kini. Tanah mereka diambil untuk tambang dan peternakan, dan identitas mereka dicuri. Pemindahan Gaza, meski dikemas sebagai bantuan kemanusiaan, berisiko menempatkan Palestina pada nasib serupa: kehilangan tanah, rumah, dan jati diri.
“Di Australia, pemindahan paksa komunitas Aborigin dari tanah mereka dilakukan melalui kekerasan dan kebijakan kolonial. Pemindahan ini mengakibatkan hilangnya budaya tradisional dan marginalisasi sosial yang berlangsung hingga saat ini. Komunitas-komunitas ini tidak hanya kehilangan akses terhadap sumber daya alam tetapi juga mengalami trauma intergenerasi.”
2. Gaza Bukan Sekadar Tempat—Itu Identitas
Gaza bukan hanya sepetak tanah berdebu di tepi Mediterania. Ia adalah nadi perjuangan Palestina, simbol ketabahan melawan penjajahan. Setiap rumah batu di sana, setiap pohon zaitun, menyimpan cerita leluhur yang menolak menyerah. Memindahkan penduduk Gaza berarti merobek mereka dari akar sejarah mereka. Ini bukan soal pindah ke negara tetangga yang “lebih aman”; ini soal memutuskan ikatan dengan tanah air yang telah mereka pertahankan dengan darah dan air mata sejak Nakba 1948, ketika ratusan ribu Palestina diusir dari rumah mereka.
Bayangkan Indonesia, misalnya, menerima pengungsi Gaza dengan tangan terbuka—sebuah tindakan mulia di permukaan. Tapi apa yang terjadi setelah “sementara” berlalu? Akankah mereka kembali ke Gaza, yang mungkin sudah diratakan atau dijajah lebih jauh? Sejarah menunjukkan pola yang kelam.
Di Lebanon, pengungsi Palestina dari Nakba masih tinggal di kamp-kamp seperti Shatila, dilarang bekerja di banyak profesi dan hidup sebagai warga kelas dua. Di Yordania, meski diterima lebih baik, mereka tetap merindukan Palestina. Pemindahan bukanlah penyembuhan—itu luka baru yang tak pernah sembuh.
“Peristiwa Nakba pada tahun 1948 adalah contoh lain dari dampak buruk pemindahan paksa. Ratusan ribu warga Palestina diusir dari rumah mereka selama pembentukan negara ilegal Israel. Hingga kini, pengungsi Palestina masih hidup dalam kondisi sulit di kamp-kamp pengungsi tanpa kepastian untuk kembali ke tanah asal mereka”
3. Motif Terselubung: Membersihkan Gaza untuk Ekspansi
Jangan terkecoh oleh narasi “kemanusiaan.” Rencana ini, jika benar, bukan tentang menyembuhkan yang terluka—it’s about clearing the board. Kolonial Israel, dengan dukungan AS, telah lama mengejar strategi untuk mengosongkan Gaza dan Tepi Barat dari penduduk aslinya.
Laporan dari organisasi seperti Human Rights Watch dan Amnesty International mencatat pola sistematis: blokade Gaza sejak 2007, pembatasan air dan listrik, hingga serangan militer berulang yang membuat hidup di sana nyaris tak tertahankan. Memindahkan penduduk Gaza ke negara lain, meski dikemas sebagai solusi sementara, adalah langkah menuju tujuan akhir: aneksasi tanpa hambatan.
Lihatlah kasus Kosovo pasca-1999. Ketika ribuan orang diungsikan selama konflik Balkan, banyak yang tidak pernah kembali. Tanah mereka diambil, perbatasan digambar ulang. Gaza berisiko menjadi Kosovo baru—sebuah tanah yang dikosongkan, lalu diisi dengan pemukiman baru. Janji “sementara” adalah tabir asap untuk agenda yang jauh lebih gelap.
4. Negara Penerima: Beban atau Perangkap?
Negara-negara Muslim seperti Indonesia, Mesir, atau Yordania mungkin merasa terpanggil untuk membantu saudara-saudara mereka di Gaza. Tapi menerima pengungsi dalam jumlah besar bukan perkara sederhana.
Indonesia, misalnya, sudah bergulat dengan tantangan ekonomi dan sosial di dalam negeri. Menampung ribuan orang—meski dengan niat mulia—bisa memicu ketegangan sosial, apalagi jika “sementara” berubah menjadi permanen. Sejarah pengungsi Rohingya di Aceh menunjukkan betapa kompleksnya integrasi, bahkan untuk komunitas kecil.
Lalu, ada risiko diplomatik. Negara yang menerima pengungsi Gaza bisa jadi pion dalam permainan geopolitik AS-Israel. Mereka mungkin dipuji sebagai “penyelamat,” tapi pada saat yang sama, mereka membantu melegitimasi pengosongan Gaza. Ini bukan solidaritas—ini perangkap yang menempatkan negara-negara Muslim dalam posisi sulit: mendukung Palestina, tapi secara tak langsung memuluskan agenda penjajah.
“Negara-negara penerima seperti Indonesia mungkin menghadapi tantangan besar dalam menyediakan layanan bagi pengungsi dalam jumlah besar. Selain itu, keberadaan pengungsi dalam jangka panjang dapat memicu ketegangan sosial dan politik di negara tersebut.”
5. Solidaritas Bukan Relokasi
Palestina bukan masalah yang harus “disingkirkan” ke negeri lain. Solidaritas sejati berarti memperjuangkan hak mereka untuk tinggal di tanah air mereka, bukan mengemas mereka ke koper dan mengirimkan mereka pergi.
Sejarah telah membuktikan bahwa pemindahan bukanlah solusi—itu adalah awal dari babak baru penindasan. Dari pengusiran orang Armenia pada 1915 hingga pengungsian massal di Rwanda pasca-genosida, “relokasi” selalu meninggalkan luka yang tak terhapus.
Kita harus belajar dari masa lalu. Suku Indian tidak pernah pulih sepenuhnya dari Trail of Tears. Aborigin masih berjuang untuk tanah mereka di Australia. Pengungsi Palestina dari Nakba masih bermimpi tentang kunci rumah yang hilang. Memindahkan penduduk Gaza bukanlah bantuan—it’s a betrayal of their struggle, a betrayal of justice, and a betrayal of humanity itself.
“Pemindahan paksa melanggar hukum internasional dan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Menurut Konvensi Jenewa, pemindahan penduduk secara paksa selama konflik bersenjata merupakan kejahatan perang. Dalam konteks Gaza, rencana ini berisiko dianggap sebagai bentuk etnis cleansing.”
Baca juga: Mengapa India tidak dikritik karena pelanggaran hak asasi manusia?
Baca juga: Israel adalah Monster yang diciptakan Barat
Apa yang Harus Dilakukan?
Jika dunia benar-benar peduli pada Gaza, solusinya bukan memindahkan penduduknya, tapi:
- Menekan penjajah Israel untuk mengakhiri blokade dan pendudukan.
- Memberikan bantuan kemanusiaan langsung di Gaza—obat, makanan, air—tanpa syarat.
- Mendukung hak kembali (right of return) bagi pengungsi Palestina, sesuai Resolusi PBB 194.
- Mengutuk setiap rencana yang menghapus identitas Palestina dari tanah mereka.
Gaza bukan sekadar tanah—ia adalah hati yang berdetak, rumah bagi jutaan mimpi yang menolak padam. Kita tidak bisa membiarkan sejarah mengulang dirinya. Kita harus berdiri bersama mereka, bukan mengusir mereka ke malam yang tak pasti. Karena jika kita diam, kita sama saja menandatangani vonis untuk sebuah bangsa—dan luka itu akan menghantui kita semua.
“Rencana pemindahan penduduk Gaza bukanlah solusi kemanusiaan; justru berpotensi menjadi babak baru dalam sejarah panjang penindasan terhadap Palestina. Dunia harus belajar dari sejarah dan bertindak untuk memastikan keadilan bagi rakyat Palestina tanpa mengorbankan hak-hak fundamental mereka sebagai manusia.”
Referensi:
- Perdue, Theda, dan Michael D. Green. The Cherokee Nation and the Trail of Tears. Penguin Books, 2007.
- Reynolds, Henry. An Indelible Stain? The Question of Genocide in Australia’s History. Viking, 2001.
- United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees (UNRWA). “Palestine Refugees,” www.unrwa.org/palestine-refugees (diakses April 2025).
- Chatty, Dawn. Displacement and Dispossession in the Modern Middle East. Cambridge University Press, 2010.
- Amnesty International. “Israel’s Apartheid Against Palestinians: Cruel System of Domination and Crime Against Humanity,” 1 Februari 2022, www.amnesty.org/en/documents/mde15/5141/2022/en/.
- Haaretz. “Netanyahu’s Office Pushed Idea of Gaza Population Transfer,” 15 Januari 2024,
- Judah, Tim. Kosovo: War and Revenge. Yale University Press, 2002.
- Missbach, Antje. Troubled Transit: Asylum Seekers Stuck in Indonesia. ISEAS Publishing, 2015.
- Abu-Lughod, Ibrahim. The Transformation of Palestine: Essays on the Origin and Development of the Arab-Israeli Conflict. Northwestern University Press, 1982.
- Suny, Ronald Grigor. “They Can Live in the Desert but Nowhere Else”: A History of the Armenian Genocide. Princeton University Press, 2015.
- Prunier, Gérard. The Rwanda Crisis: History of a Genocide. Columbia University Press, 1995.
- BADIL Resource Center for Palestinian Residency and Refugee Rights. “The Right of Return: An Inalienable Right,” 2019, www.badil.org.
Baca juga: Mengapa Barat Ingin Membunuh Gaddafi: Mata Uang Emas dan Kemandirian
Baca juga: Perempuan Palestina: Pilar Perlawanan Melawan Pendudukan di Women’s History Month