ZONA PERANG (zonaperang.com) Makam bermarmer merah muda berada di tengah makam-makam kecil. Beringin raksasa melindunginya dari matahari dan hujan. Helaian daun kering dan batu-batu hitam memenuhi bagian tengah tempat peristirahatan terakhir itu. Warga Desa Keramat, Tapos (perbatasan Bogor-Depok) mengenalnya sebagai makam Nyimas Utari Sanjaya Ningrum.
“Sebenarnya nama beliau adalah Nyimas Utari Sandijayaningsih,” ujar Ustadz Sukandi (42 tahun), tokoh masyarakat Desa Keramat.
Agen intelijen Kerajaan Mataram Islam
Sukandi mendengar kisah dari orang-orang tua di Desa Keramat bahwa Nyimas Utari merupakan agen intelijen Kerajaan Mataram Islam. Sultan Agung Hanyokrokusumo menugaskan dia untuk membunuh Gubernur Jenderal VOC pertama, Jan Pieterszoon Coen dalam penyerangan kedua Mataram ke Batavia.
Sultan Agung dua kali melakukan serangan ke Batavia. Yakni, pada tahun 1628 yang mengalami kegagalan, dan baru berhasil memenangkan pertempuarn pada serangan kedua dilancarkan pada 1629.
“Tugas itu berhasil dia jalani. Leher Coen berhasil dipenggalnya dengan golok Aceh,” ungkapnya.
Keterangan Sukandi dibenarkan Ki Herman Janutama. Sembari mengutip Babad Jawa, sejarawan asal Yogyakarta itu menyebut bahwa pemenggalan kepala Coen merupakan misi rahasia yang sudah lama direncanakan dengan melibatkan grup intelijen Mataram, Dom Sumuruping Mbanyu (Jarum yang Dimasukan Air).
“Orang sekarang mungkin akan kaget kalau dikatakan militer Mataram memilik kesatuan telik sandi sendiri, tapi bagi kami yang akrab dengan manuskrip-manuskrip tua dan cerita-cerita lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi, hal ini tidak aneh,” ujar Ki Herman.
Infiltrasi telik sandi Mataram ke Batavia
Infiltrasi telik sandi Mataram ke Batavia sudah dirancang sejak 1627. Dengan mengerahkan orang-orang Tumenggung Kertiwongso dari Tegal, komandan kelompok intel Mataram Raden Bagus Wonoboyo membangun basis di wilayah bantaran Kali Sunter di daerah Tapos.
Untuk melengkapi kerja-kerja rahasia tersebut, Wonoboyo mengirimkan putrinya yang memiliki kemampuan telik sandi mumpuni, Nyimas Utari, untuk bergabung dengan agen telik sandi asal Samudera Pasai Sumatra, Mahmuddin.
“Dia memiliki nama sandi: Wong Agung Aceh. Dia kemudian menikahi Nyimas Utari,” kata Ki Herman.
Kisah misi rahasia sebagai telik sandi yang dijalankan oleh Nyimas Utari, juga pernah dilakukan ibundanya, Roro Pembayun 50 tahun sebelum peristiwa pembunuhan JP Coen. Roro Pembayun menyamar menjadi penari jalanan, sebelum Mataram Kotagedhe menghancurkan kerajaan Mangir.
Memiliki akses ke kastil dan memiliki akses ke isteri serta anak-anak Coen
Dari Aceh, kedua agen intelijen itu memasuki benteng VOC di Batavia dengan kamuflase sebagai pebisnis. Mereka memiliki kapal dagang yang disewa VOC untuk mengangkut meriam dari Madagaskar. Mereka lantas dipercaya Coen sebagai mitra bisnis VOC. Begitu dekatnya, hingga mereka memiliki akses ke kastil dan bergaul dengan Eva Ment, isteri Coen, dan anak-anaknya.
“Bahkan, demi memuluskan misinya tersebut, Nyimas Utari harus rela menjadi penyanyi di klub tempat berkumpulnya para perwira VOC.”
Pada 1629, balatentara Mataram menyerbu Batavia. Di tengah kekacauan dan kepanikan, Nyimas Utari membunuh Eva dan anak-anaknya dengan racun lewat minuman. Mahmuddin berhasil menyelinap ke ruangan Coen dan membunuhnya.
Baca juga : Sejarah Perkembangan Kerajaan Kesultanan Mataram Islam
Baca juga : 17 Maret 1757, Perjanjian Salatiga : Musnahnya Cita-Cita Menyatukan Tanah Jawa
Berawal dari kematian istri JP Coen
Kematian tragis JP Coen di tangan Nyimas Utari tersebut, berawal dari kematian istri JP Coen, Eva Ment bersama anaknya pada 16 September 1629. Di tengah kekalutan dan keterpurukan atas kematian istri dan anaknya, JP Coen begitu lengah sehingga tak menyadari Nyimas Utari telah menyiapkan serangan mematikan.
“Guna bukti kesuksesan misi mereka ke Sultan Agung, Nyimas Utari dengan menggunakan golok kepunyaan Mahmuddin memenggal kepala Coen,” ujar Ki Herman.
Empat hari berikutnya giliran dia menggoda JP Coen dalam pesta mabuk-mabukan dan JP Coen yang tidak biasa minum sampai mabuk, lupa dan lengah sehingga berniat memperkosa Raden Ayu Utari Sandijayaningsih dalam kamarnya.
Dalam keadaan mabuk JP Coen tidak melihat bahwa Mahmudin menyelinap masuk ke dalam kamar JP Coen dan memenggal kepala JP Coen.
Sambil membawa kepala Coen, Mahmuddin dan Nyimas Utari diloloskan pasukan penyelundup Mataram dari dalam benteng VOC. Namun, saat pelarian tersebut mereka dihujani tembakan meriam yang menewaskan Nyimas Utari. Mahmuddin membopong jasad istrinya hingga wilayah Desa Keramat, tempat dia dimakamkan saat ini.
Menanam kepala itu di baris ke-716 tangga menuju makam raja-raja Jawa di Imogiri
Kepala Coen diambil oleh Wonoboyo. Secara estafet, kepala itu dibawa lewat jalur Pantai Utara oleh tentara Mataram di bawah komandan Tumenggung Surotani. Sultan Agung memerintahkan untuk menanam kepala itu di baris ke-716 tangga menuju makam raja-raja Jawa di Imogiri.
“Hingga kini, para peziarah yang paham cerita ini akan melangsungkan ritual pengutukan terhadap jiwa Coen dengan cara menginjak-injak tangga ke-716 seraya mengeluarkan sumpah serapah dari mulut mereka,” ujar Ki Herman.
Kalangan sejarawan Belanda
Kendati kematian Coen terkesan mendadak, namun secara resmi kalangan sejarawan Belanda meyakini kematiannya karena penyakit kolera. Menurut H.J. De Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram, pada 17 September 1629, Coen masih terlihat segar bugar saat memeriksa kesiapsiagaan tentaranya untuk mempertahankan Batavia.
“Pada 20 September malam dia mendadak jatuh sakit dan sekitar jam satu malam dia meninggal dunia,” tulis De Graaf.
Dalam Kisah Betawi Tempo Doeloe: Robin Hood Betawi, sejarawan Alwi Shahab mengutip versi Belanda yang menyebut jasad Coen kemudian dimakamkan di Balai Kota (kini Museum Sejarah DKI di Taman Fatahillah) dan kemudian dipindahkan ke De Oude Hollandsche Kerk (Gereja Tua Belanda yang kini menjadi Museum Wayang). Namun, sejarawan Sugiman MD dalam Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi, meragukan bahwa makam itu berisi jasad Coen.
Terlebih menurut arkeolog Chandrian Attahiyyat, para arkeolog Belanda memastikan bahwa di makam itu tidak ditemukan jasad berupa tulang belulang saat mereka melakukan penggalian pada 1939. Supaya komprehensif, seharusnya penggalian pun dilakukan di Imogiri.
“Memang sejauh ini belum pernah ada penelitian arkelogi soal kebenaran versi Babad Jawa tentang terbunuhnya Coen,” ujarnya.
Batavia tidak berani mengusik kedudukan Sultan Agung
Keberhasilan operasi komando pembunuh JP Coen ini secara keseluruhan telah menghentikan niat Sultan Agung melanjutkan peperangan melawan Kompeni Belanda di Batavia, namun selama Sultan Agung masih bertahta di Mataram selama itu pula Batavia tidak berani mengusik kedudukan Sultan Agung di Mataram.
Baca juga : 30 Mei 1619, Jan Pieterszoon Coen taklukkan Jayakarta dan dirikan Batavia
Baca juga : Amangkurat I, Raja Kesultanan Mataram yang Zalim Membunuh Ulama dan Rakyatnya