Abdul Malik Karim Amrullah, yang lebih dikenal dengan nama pena Hamka adalah seorang ʿālim, filsuf, penulis, dosen, politikus, dan jurnalis Indonesia. Awalnya berafiliasi dengan Partai Masyumi, hingga partai tersebut dibubarkan karena hubungannya dengan pemberontakan PRRI, Hamka dipenjara karena ia dekat dengan anggota PRRI lainnya.
ZONA PERANG (zonaperang.com) – Buya Hamka, atau bernama asli Abdul Malik Karim Amrullah(17 Februari 1908 – 24 Juli 1981) adalah seorang Ulama, sastrawan, Jurnalis, Pengajar dan Pejuang Indonesia. Ia sempat berkecimpung di politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan karena menentang NASAKOM, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.
Sepanjang hidupnya, Hamka dikenal sebagai sosok ulama besar yang gigih membela Islam dan sangat tegas dalam hal akidah, tanpa kompromi. “Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah, tidak bisa dijual lagi kepada pihak manapun!” tegas Hamka setelah dilantik sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975 (Artawijaya, Hidayatullah, 2 Juli 2013).
Salah satu contoh ketegasan itu adalah saat dirinya menjabat sebagai Ketua MUI, di mana ia berani mengeluarkan fatwa yang sampai saat ini masih menjadi diskusi keagamaan, bahkan memantik perdebatan, yakni mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam terkait perayaan Natal bersama.
Bahkan, pada 19 Mei 1981, Hamka mundur dari jabatannya sebagai Ketua MUI karena merasa ditekan oleh menteri agama waktu itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara. Buya memilih mundur daripada harus menganulir fatwa tersebut. Di sisi lain, Hamka juga dikenal sebagai penulis, salah satu novelnya yang terkenal adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Baca juga : 10 November 1945, Perang Surabaya : Latar Belakang, Kronologi, & Dampak
Baca juga : Edward Snowden: Pahlawan atau Pengkhianat? Mengurai Kontroversi Whistleblower Terkenal
Latar Belakang Pemikiran
Buya Hamka lahir di saat zaman hebat pertentangan kaum muda dan kaum tua (1908) atau 1325 Hijriah. Oleh karena ia lahir di era pergerakan itu, Buya sudah terbiasa mendengar perdebatan sengit antara kaum muda dan kaum tua tentang paham agama. Saat Buya Hamka berusia 10 tahun, tepat pada 1918, ayahnya mendirikan pondok pesantren “Sumatera Thawalib” di Padang Panjang.
Di akhir tahun 1924, tepat di usia ke 16 tahun, Hamka merantau ke Yogyakarta dan mulai belajar pergerakan Islam modern kepada sejumlah tokoh seperti H.O.S Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M Soerjopranoto dan H. Fakhruddin. Dari sana dia mulai mengenal perbandingan antara pergerakan politik Islam, yaitu Syarikat Islam Hindia Timur dan gerakan Sosial Muhammadiyah.
Pejuang dan Penentang Komunis
Setelah menikah, ia kembali ke Medan dan menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat(kelak ditutup oleh Jepang). Selama revolusi fisik Indonesia, Hamka bergerilya di Sumatra Barat bersama Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) untuk menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda.
Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Semula ia mendapat pekerjaan di Departemen Agama, tapi ia mengundurkan diri karena terjun di jalur politik. Dalam pemilihan umum 1955, Hamka terpilih duduk di Konstituante mewakili Masyumi. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara.
Sikap politik Masyumi menentang komunisme dan anti-Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungan Hamka dengan Presiden Soekarno. Usai Masyumi dibubarkan sesuai Dekret Presiden 5 Juli 1959, Hamka menerbitkan majalah Panji Masyarakat yang berumur pendek, dibredel oleh Soekarno setelah menurunkan tulisan Hatta—yang telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden—berjudul “Demokrasi Kita”.
Seiring meluasnya komunisme di Indonesia, Hamka diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra(Sayap budaya Partai Komunis). Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Dalam keadaan sakit sebagai tahanan, ia merampungkan Tafsir Al-Azhar.
Baca Juga : Presiden Sukarno Cocok dengan Tokoh PKI Nyoto
Baca Juga : Sukarno lebih percaya PKI yang memfitnah pimpinan TNI AD, Letjen Ahmad Yani geram