Kapal ini adalah kapal ke 5 yang menggunakan nama HNLMS De zeven Provinzien. Peletakan lunas pertama dilakukan di tahun 1908 di Amsterdam dan diluncurkan oleh Prince Duke of Henry suami Ratu Wilhelmina of the Netherlands tahun 1909. Memasuki layanan di Angkatan Laut Kerajaan Belanda Koninklijke Marine tahun 1910.
Kapal yang termasuk dalam golongan kapal perang penjelajah ringan ini ditugaskan sebagai kapal pertahanan pantai sebelum menjadi kapal latih artileri setelah perbaikannya di tahun 1919-1921.
Sebab
Pemberontakan kapal tujuh adalah pemberontakan anti kolonial pertama yang dilakukan oleh prajurit laut Indonesia. “Jiwa kapal tujuh adalah jiwa yang tidak akan ada akan ada matinya, dia adalah api abadi”, tulis Harian Rakjat tahun 1958.
Situasi ekonomi saat itu di Hindia Belanda sangat sulit.
Kisah kejutan terhadap kapal perang kolonial Belanda dipicu oleh rencana pemotongan gaji 17% untuk klasi pribumi, sangat diskriminatif dengan kenyataan pelaut eropa telah dibayar 2x lipat upah buruh pribumi dan hanya direncanakan dipotong sebesar 14%.
Kesulitan bukan hanya dirasakan oleh pemerintah kolonial yang harus melakukan penghematan tetapi juga oleh masyarakat kota dan desa yang mulai banyak kehilangan pekerjaan serta dirasakannya bahwa kerja keras tidak bisa menjamin terpenuhinya segala kebutuhan.
Sikap Menentang terhadap keputusan pemerintah jajahan sebenarnya juga terjadi disaat yang sama di Kota Surabaya, markas besar Marinier Hindia Belanda oleh kelasi Indonesia lainnya.
Pemberontakan ini juga melibatkan kelasi dan perwira menengah Belanda.
“His/Her Netherland Majesty’s Ship crew ship”
https://www.youtube.com/watch?v=5A5Ib-1txsc
Baca juga : Diponegoro (11 November 1785 – 8 January 1855)Bendara Raden Mas Mustahar ꦢꦶꦥꦤꦼꦒꦫ
Baca juga : Kiprah satuan kapal selam Angkatan Laut Hindia Belanda (Bagian 1)
Peristiwa
Kapal berlayar dari Surabaya dalam dalam misi latihan dan unjuk kekuatan ke Sumatra. Awak kapal terdiri dari 141 orang eropa(30 orang diantaranya perwira dan 26 orang perwira madya)dan 256 orang pribumi(termasuk 7 perwira madya dan 80 orang siswa).
Kapal ini dijuluki kapal hukuman karena ditempatkannya perwira berumur dengan pertimbangan kasus indispliner dan kurangya kecakapan dalam menjalankan tugas di tempat lain atau orang-orang bermasalah seperti kopral masinis M. Boshart dan kelasi satu pribumi Paradja.
Mereka pernah menduduki jabatan pengurus di beberapa serikat anggota marinir atau kelasi, juru bicara yang paling keras dan berhubungan dengan kelompok-kelompok nasionalis.
Pengurus cabang serikat Marinir dan pengurus 2 badan serikat pribumi(Serikat kelasi pribumi dan Serikat kelasi pribumi kristen)kapal telah mengundurkan diri dengan alasan semakin meningkatnya tensi ketegangan.
Mereka tidak ingin bertanggung jawab atas kejadian yang mungkin akan terjadi membuat para perwira diamanatkan untuk mempersenjatai diri walaupun ternyata hal tersebut tidak dijalankan komandan kapal P. Eikenboom karena situasi di kapal dianggap baik.
Hingga berlabuh di pelabuhan Olehleh dekat kota Raja(banda aceh)hari Jum’at tanggal 3 Februari 1933 pelayaran dalam kondisi sesuai jadwal dan tidak ada masalah yang berarti kecuali tentang makanan, begitu juga saat berada di cafe di Kota gemeente Padang, hanya terjadi pertikaian antar perwira madya dan anggota pasukan seperti yang terjadi juga sebelunya di kota Sabang.
Hari itu ditutup dengan berita tentang pengurangan gaji bagi anggota eropa yang telah menyebabkan kemarahan, sama seperti yang terjadi di Kota Surabaya. Ketegangan meningkat dikalangan pribumi, mereka melakukan pertemuan sampai kepada ide pemogokan kerja dan usaha-usaha untuk mendinginkan suasana telah gagal, walaupun kondisi secara umum tetap normal.
Tidakan lebih jauh oleh komandan kapal tidak dilakukan karena akan dianggap provokatif dan akan menjadi alasan yang diingikan oleh kelompok yang tidak menyetujui pemotongan upah.
4 Februari 1933
Semakin jelas rencana-rencana untuk menguasai kapal perang yang sedang buang sauh ini. Kesempatan semakin terbuka lebar saat kapal hanya ditinggali 17 orang perwira karena sebagian besar awak harus turun ke darat untuk menghadiri pesta khusus bagi pelaut De Zeven Provincien.
Paradja dan Kawilarang bersama sekelompok pribumi dari Ambon dan Manado sebelum akhirnya diikuti oleh kelompok yang lain memimpin rencana pengambilalihan kapal.
Rak senjata dan amunisi berhasil dikuasai tanpa kesulitan. Beberapa perwira mencoba mengambil tindakan tanpa arahan berusaha untuk menutup pintu-pintu kedap air yang memisahkan kapal dan merusak rangkaian kemudi.
Boshart dengan menodongkan pistol berusaha meyakinkan perwira yang bertahan untuk tidak mengambil tindakan yang dapat berakibat pada pertumpahan darah.
5 Februari 1933
Pukul 01:00 pagi terjadi perundingan antara pemimpin pribumi dengan perwira kapal difasilitasi oleh Moud Boshart yang berusaha menguraikan tujuan pemberontakan.
Mereka berpandangan tindakan itu hanyalah sebuah unjuk rasa menentang pengurangan gaji dan penahanan rekan-rekan mereka di pangklan Surabaya. Tujuan mereka sempat disebarkan melalui telegram ke dunia luar.
Pada akhirnya diputuskan kapal akan dilayarkan ke Surabaya dengan pemberitahuan umum bahwa tidak akan digunakanya senjata selama awak tidak dipaksa untuk melakukannya, tidak akan ada kekerasan yang akan terjadi di kapal dan semua akan berjalan normal di kapal serta tidak ada kecenderungan mereka untuk suatu kegiatan komunis.
Hal tersebut wajar karena pada saat itu komunis sedang berusaha untuk bangkit setelah pemberontakannya yang gagal di tahun 1926. Selama masa pemberontakan tersebut semua hal berjalan normal di kapal: para perwira yang ditahan tetap mendapatkan pelayanan di meja makan, kirab bendera Belanda harian tetap dilakukan bahkan potret Ratu diperlakukan dengan hormat.
Kapal dengan bahan bakar batu bara ini berlayar dengan tenang melalui pantai barat Sumatra. Komandan, perwira bersama awak kapal yang tertinggal di atjeh bersama-sama naik ke kapal pemerintah lainya, berpindah-pindah agar selalu dapat mengikutinya.
Hanya penyerahan diri secara langsung atau menerima tindakan kekerasan dianggap solusi terbaik bagi mereka yang memberontak. Direncanakan kapal akan diserang sebelum memasuki selat Sunda, karena dikhawatirkan meriam kapal yang besar itu dapat merusak Batavia jika sudah masuk jarak tembaknya.
Di tempat itu telah berkumpul 1 kapal penjelajah, 2 kapal pemburu, 2 kapal selam serta 8 pesawat tebang. Ultimatum akan disampaikan sebelum bom peringatan pertama dijatuhkan di depan kapal, disusul pemboman sebenarnya.
Jika hal tersebut tidak membantu rencana cadangan dilakukan melalui serbuan torpedo kapal selam. Bahkan Penyergapan oleh kapal penjelajah dan kapal pemburu telah disiapkan juga.
Di tempat itu telah berkumpul 1 kapal penjelajah, 2 kapal pemburu, 2 kapal selam serta 8 pesawat tebang. Ultimatum akan disampaikan sebelum bom peringatan pertama dijatuhkan di depan kapal, disusul pemboman sebenarnya.
Jika hal tersebut tidak membantu rencana cadangan dilakukan melalui serbuan torpedo kapal selam. Bahkan Penyergapan oleh kapal penjelajah dan kapal pemburu telah disiapkan juga.
https://www.youtube.com/watch?v=COOXdWkuLHI
Baca juga : Marsose: Sejarah Panjang Tentara Bayaran Belanda Pribumi yang Berperan Penting dalam Kekerasan Kolonialisme
Pemboman
Pukul 09:18 bom seberat 50kg dijatuhkan dari pesawat Do J Wal buatan Jerman beregistrasi D 11 dari ketinggian 1.200 meter. Bom mengenai langsung De Zeven Provincien tidak jauh dari anjungan kapal dan meledak, tidak seperti rencana awal tetapi sebuah kesengajaan murni penerbang yang menganggap kapal tersebut sebagai kapal musuh.
Kerusakan yang telah terjadi
Akibatnya terjadi kerusakan material cukup segnifikan dan korban jiwa hingga 19 orang meninggal dunia(3 orang eropa dan 16 pribumi termasuk Paradja dan beberapa pemuka pemberontak). 11 orang luka berat(3 orang eropa dan 8 orang pribumi, empat orang diantaranya kemudian meninggal dunia).
Sesudah keadaan di De Zeven Provincien mereda, para korban luka dipindahkan ke kapal lain agar dapat secepat mungkin ditangani di darat. Walaupun begitu kapal masih dapat berlayar dengan kekuatan sendiri ke pulau Onrust. Tempat kelak para crew ditahan sementara dan dilakukanya penyidikan.
Akhir
-
Kelasi yang ditahan
Hampir semua hukuman disertai pemecatan dari dinas militer aktif. Pengadilan dilakukan di Hindia Belanda dan di Den Haag. Banyak tahanan pada akhirnya kelak dibebaskan oleh jepang saat mereka menguasai Hindia Belanda.
Dampak
- Kaum Nasionalis menjadi kambing hitam terhadap terjadinya peristiwa pemberontakan tersebut, menyebabkan pemerintah Hindia Belanda lebih ketat lagi mengawasi kegiatan kaum nasionalis.
- Campur tangan pemerintah terhadap semua partai politik yang ada di Hindia Belanda semakin dalam. Pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan baru Hatzai Artikelen, dimana tokoh-tokoh politik, seperti M. Hatta dan Sutan Syahrir dibuang ke Boven Digul, menyusul Soekarno dibuang ke Ende. Pengawasan terhadap gerakan politik diperketat.
- Sejumlah media massa saat itu terkena getahnya juga, dibredel dan pimpinan redaksinya ditahan, seperti Harian Soeara Oemoem milik Dr. Soetomo dibredel. Pemimpin redaksinya, Raden Tahir Tjindarboemi, ditahan, diadili, dan dipenjara. Raden Tahir Tjindarboemi, setelah lulus dari Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya, lebih memilih menjadi wartawan ketimbang menjadi dokter Belanda.
- Bahkan Mohammad Husni Thamrin yang wafat tahun 1941 disinyalir kematiannya disebabkan oleh perlakuan kasar polisi rahasia Belanda bahkan dengan mengeluarkan laporan resmi bahwa almarhum meninggal karena bunuh diri.
Baca juga : Christiaan Snouck Hurgronje: Penghancur masyarakat dan negara Aceh
Baca juga : 350 Tahun Dijajah, Kenapa Orang Indonesia Tidak Bisa Bahasa Belanda?
https://www.youtube.com/watch?v=AsIyahKqdE0
Pengurus cabang serikat Marinir dan pengurus 2 badan serikat pribumi(Serikat kelasi pribumi dan Serikat kelasi pribumi kristen)kapal telah mengundurkan diri dengan alasan semakin meningkatnya tensi ketegangan.
Mereka tidak ingin bertanggung jawab atas kejadian yang mungkin akan terjadi membuat para perwira diamanatkan untuk mempersenjatai diri walaupun ternyata hal tersebut tidak dijalankan komandan kapal P. Eikenboom karena situasi di kapal dianggap baik.
Hingga berlabuh di pelabuhan Olehleh dekat kota Raja(banda aceh)hari Jum’at tanggal 3 Februari 1933 pelayaran dalam kondisi sesuai jadwal dan tidak ada masalah yang berarti kecuali tentang makanan, begitu juga saat berada di cafe di Kota gemeente Padang, hanya terjadi pertikaian antar perwira madya dan anggota pasukan seperti yang terjadi juga sebelunya di kota Sabang.
Hari itu ditutup dengan berita tentang pengurangan gaji bagi anggota eropa yang telah menyebabkan kemarahan, sama seperti yang terjadi di Kota Surabaya. Ketegangan meningkat dikalangan pribumi, mereka melakukan pertemuan sampai kepada ide pemogokan kerja dan usaha-usaha untuk mendinginkan suasana telah gagal, walaupun kondisi secara umum tetap normal.
Tidakan lebih jauh oleh komandan kapal tidak dilakukan karena akan dianggap provokatif dan akan menjadi alasan yang diingikan oleh kelompok yang tidak menyetujui pemotongan upah.
4 Februari 1933
Semakin jelas rencana-rencana untuk menguasai kapal perang yang sedang buang sauh ini. Kesempatan semakin terbuka lebar saat kapal hanya ditinggali 17 orang perwira karena sebagian besar awak harus turun ke darat untuk menghadiri pesta khusus bagi pelaut De Zeven Provincien.
Paradja dan Kawilarang bersama sekelompok pribumi dari Ambon dan Manado sebelum akhirnya diikuti oleh kelompok yang lain memimpin rencana pengambilalihan kapal.
Rak senjata dan amunisi berhasil dikuasai tanpa kesulitan. Beberapa perwira mencoba mengambil tindakan tanpa arahan berusaha untuk menutup pintu-pintu kedap air yang memisahkan kapal dan merusak rangkaian kemudi.
Boshart dengan menodongkan pistol berusaha meyakinkan perwira yang bertahan untuk tidak mengambil tindakan yang dapat berakibat pada pertumpahan darah.
5 Februari 1933
Pukul 01:00 pagi terjadi perundingan antara pemimpin pribumi dengan perwira kapal difasilitasi oleh Moud Boshart yang berusaha menguraikan tujuan pemberontakan.
Mereka berpandangan tindakan itu hanyalah sebuah unjuk rasa menentang pengurangan gaji dan penahanan rekan-rekan mereka di pangklan Surabaya. Tujuan mereka sempat disebarkan melalui telegram ke dunia luar.
Pada akhirnya diputuskan kapal akan dilayarkan ke Surabaya dengan pemberitahuan umum bahwa tidak akan digunakanya senjata selama awak tidak dipaksa untuk melakukannya, tidak akan ada kekerasan yang akan terjadi di kapal dan semua akan berjalan normal di kapal serta tidak ada kecenderungan mereka untuk suatu kegiatan komunis.
Hal tersebut wajar karena pada saat itu komunis sedang berusaha untuk bangkit setelah pemberontakannya yang gagal di tahun 1926. Selama masa pemberontakan tersebut semua hal berjalan normal di kapal: para perwira yang ditahan tetap mendapatkan pelayanan di meja makan, kirab bendera Belanda harian tetap dilakukan bahkan potret Ratu diperlakukan dengan hormat.
Kapal dengan bahan bakar batu bara ini berlayar dengan tenang melalui pantai barat Sumatra. Komandan, perwira bersama awak kapal yang tertinggal di atjeh bersama-sama naik ke kapal pemerintah lainya, berpindah-pindah agar selalu dapat mengikutinya.
Hanya penyerahan diri secara langsung atau menerima tindakan kekerasan dianggap solusi terbaik bagi mereka yang memberontak. Direncanakan kapal akan diserang sebelum memasuki selat Sunda, karena dikhawatirkan meriam kapal yang besar itu dapat merusak Batavia jika sudah masuk jarak tembaknya.
Di tempat itu telah berkumpul 1 kapal penjelajah, 2 kapal pemburu, 2 kapal selam serta 8 pesawat tebang. Ultimatum akan disampaikan sebelum bom peringatan pertama dijatuhkan di depan kapal, disusul pemboman sebenarnya.
Jika hal tersebut tidak membantu rencana cadangan dilakukan melalui serbuan torpedo kapal selam. Bahkan Penyergapan oleh kapal penjelajah dan kapal pemburu telah disiapkan juga.
Di tempat itu telah berkumpul 1 kapal penjelajah, 2 kapal pemburu, 2 kapal selam serta 8 pesawat tebang. Ultimatum akan disampaikan sebelum bom peringatan pertama dijatuhkan di depan kapal, disusul pemboman sebenarnya.
Jika hal tersebut tidak membantu rencana cadangan dilakukan melalui serbuan torpedo kapal selam. Bahkan Penyergapan oleh kapal penjelajah dan kapal pemburu telah disiapkan juga.
https://www.youtube.com/watch?v=COOXdWkuLHI
Baca juga : Marsose: Sejarah Panjang Tentara Bayaran Belanda Pribumi yang Berperan Penting dalam Kekerasan Kolonialisme
Pemboman
Konfrontasi terjadi jum’at tanggal 10 Februari 1933. Pukul 08:53 pagi pesawat memberikan peringatan terakhir untuk menyerah tanpa syarat, mengibarkan bendera putih dan menghentikan kapal dalam waktu 10 menit.
Pukul 09:18 bom seberat 50kg dijatuhkan dari pesawat Do J Wal buatan Jerman beregistrasi D 11 dari ketinggian 1.200 meter. Bom mengenai langsung De Zeven Provincien tidak jauh dari anjungan kapal dan meledak, tidak seperti rencana awal tetapi sebuah kesengajaan murni penerbang yang menganggap kapal tersebut sebagai kapal musuh.
Kerusakan yang telah terjadi
Akibatnya terjadi kerusakan material cukup segnifikan dan korban jiwa hingga 19 orang meninggal dunia(3 orang eropa dan 16 pribumi termasuk Paradja dan beberapa pemuka pemberontak). 11 orang luka berat(3 orang eropa dan 8 orang pribumi, empat orang diantaranya kemudian meninggal dunia).
Sesudah keadaan di De Zeven Provincien mereda, para korban luka dipindahkan ke kapal lain agar dapat secepat mungkin ditangani di darat. Walaupun begitu kapal masih dapat berlayar dengan kekuatan sendiri ke pulau Onrust. Tempat kelak para crew ditahan sementara dan dilakukanya penyidikan.
Akhir
-
Kelasi yang ditahan
Hampir semua hukuman disertai pemecatan dari dinas militer aktif. Pengadilan dilakukan di Hindia Belanda dan di Den Haag. Banyak tahanan pada akhirnya kelak dibebaskan oleh jepang saat mereka menguasai Hindia Belanda.
Dampak
- Kaum Nasionalis menjadi kambing hitam terhadap terjadinya peristiwa pemberontakan tersebut, menyebabkan pemerintah Hindia Belanda lebih ketat lagi mengawasi kegiatan kaum nasionalis.
- Campur tangan pemerintah terhadap semua partai politik yang ada di Hindia Belanda semakin dalam. Pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan baru Hatzai Artikelen, dimana tokoh-tokoh politik, seperti M. Hatta dan Sutan Syahrir dibuang ke Boven Digul, menyusul Soekarno dibuang ke Ende. Pengawasan terhadap gerakan politik diperketat.
- Sejumlah media massa saat itu terkena getahnya juga, dibredel dan pimpinan redaksinya ditahan, seperti Harian Soeara Oemoem milik Dr. Soetomo dibredel. Pemimpin redaksinya, Raden Tahir Tjindarboemi, ditahan, diadili, dan dipenjara. Raden Tahir Tjindarboemi, setelah lulus dari Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya, lebih memilih menjadi wartawan ketimbang menjadi dokter Belanda.
- Bahkan Mohammad Husni Thamrin yang wafat tahun 1941 disinyalir kematiannya disebabkan oleh perlakuan kasar polisi rahasia Belanda bahkan dengan mengeluarkan laporan resmi bahwa almarhum meninggal karena bunuh diri.
Baca juga : Christiaan Snouck Hurgronje: Penghancur masyarakat dan negara Aceh
Baca juga : 350 Tahun Dijajah, Kenapa Orang Indonesia Tidak Bisa Bahasa Belanda?
https://www.youtube.com/watch?v=AsIyahKqdE0