- Trauma dan Tabu: Jejak Diponegoro yang Ditolak di Keraton Yogyakarta dan Surakarta
- Memori yang Terluka: Menghapus Nama Diponegoro
ZONA PERANG(zonaperang.com) Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta tidak pernah lagi menggunakan nama Pangeran Diponegoro untuk nama-nama pangerannya. Ada trauma tersendiri dengan penggunaan nama tersebut.
Tanggal 28 Maret, 194 tahun silam, sebuah peristiwa bersejarah terjadi di Magelang, Jawa Tengah. Catatan sejarah menyebutkan di tanggal tersebut, Pangeran Diponegoro ditangkap kolonial Belanda melalui muslihat perundingan. Hari itu adalah hari kedua Lebaran di tahun 1830.
Penangkapan putra Sultan HB III tersebut menandai berakhirnya Perang Jawa yang berlangsung dari tahun 1825 hinga purna tahun 1930. Perang ini konon menyebabkan kematian 200 ribu orang Jawa dan 15 ribu serdadu Belanda.
“Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa. Dia juga lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan ketimbang masalah pemerintahan keraton dan membaur dengan rakyat. Sejak kecil Diponegoro sudah sanggat dekat dengan rakyat dan para santri.”
Baca juga : Sawo kecik dan Pangeran Diponegoro
Baca juga : 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap saat berunding dengan Penjajah Belanda
Fakta nama Pangeran Diponegoro
Sebelum menyandang nama Pangeran Diponegoro, sosok pahlawan nasional ini tercatat empat kali berganti nama. Pertama, usai dilahirkan oleh Raden Ayu Mangkorowati pada 1785 namanya adalah Bendara Raden Mas Mustahar. Seiring memasuki masa remaja, namanya menjadi Raden Mas Ontowiryo.
Namanya berubah lagi usai sang ayah yang bernama Pangeran Adipati Anom menjadi Sultan Hamengku Buwono III. RM Ontowiryo berganti nama menjadi Bendoro Pangeran Haryo Diponegoro. Nama Islamnya adalah Abdul Hamid atau Ngabdulkamit
Raden Mas Ontowiryo merupakan anak laki-laki tertua dari Sultan HB III. “Biasanya, anak laki-laki tertua para raja dinasti Mataram Islam akan menggunakan nama Pangeran Hangabei. Namun, saat itu ada pangeran lain yang lebih senior sehingga Raden Mas Ontowiryo menggunakan nama Bendoro Pangeran Haryo Diponegoro,”
Terakhir nama yang Pangeran Diponegoro gunakan adalah Sultan Ngabdulkamid Herucakra. Nama ini Pangeran Diponegoro gunakan saat dimulainya Perang Jawa pada tahun 1825.
Gelarnya selama Perang Jawa adalah Sultan Abdul Hamid Erucokro Kabirul Mukminin Sayyidin Paneteg Panatagama Kalifatu Rosulillah ing Tanah Jawa yang berarti Sultan Abdul Hamid (Ngabdulkamit), Ratu Adil (Erucokro), Pemimpin Agama (Sayyidin), Penata Agama Panatagama) dan Khalifah Rasulullah (Kalifatu Rosulillah) di tanah Jawa (ing Tanah Jawa)
Nama Diponegoro tidak lagi keraton gunakan
Usai Perang Jawa yang berlangsung 1825-1830, nama gelar Pangeran Diponegoro (11 November 1785 – 8 Januari 1855) tidak lagi dipakai baik oleh Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta. “Kedua kerajaan ini rupanya kadung punya kenangan buruk bahwa sosok Pangeran Diponegoro itu bikin repot, terutama dengan pemberontakan terhadap penjajah Belanda yang pangeran lakukan,”
Perang Jawa memberi konsekuensi berat bagi Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Kedua kerajaan dipaksa untuk menyerahkan wilayah atau kabupaten mancanegaranya di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur kepada pihak kolonial. Hal itu sebagai ganti rugi biaya perang yang saat itu menggerogoti kas Kerajaan Belanda hingga 25 juta gulden ( 1 gulden = 1 gram emas).
“‘Dipo’ [dari bahasa Sankrit ‘dipa’] berarti seseorang yang menyebarkan pencerahan atau yang memiliki hidup dan kekuatan […] ‘negoro’ berarti suatu daerah […] maka ‘Diponegoro’ berarti seseorang yang memberi pencerahan, kekuatan dan kemakmuran kepada suatu daerah (negara)” (Knoerle, ‘Journal’, 10).
Penguasaan wilayah milik Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta juga agar Belanda bisa menjalankan kebijakan cultuur stelsel atau tanam paksa menjadi lebih mudah.
“Belanda bahkan sempat berencana menghapuskan sama sekali Kasultanan Yogyakarta dari peta Jawa. Namun, hal ini kemudian urung Belanda lakukan, karena menganggap eksistensi Keraton Yogyakarta masih diperlukan sebagai penyeimbang pihak Kasunanan Surakarta,”
Pangeran Diponegoro dari Kartasura yang memberontak pada Amangkurat IV
Tidak aneh jika Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta punya trauma dengan gelar Pangeran Diponegoro. Selain sosok Pangeran Diponegoro yang mengobarkan Perang Jawa, ada sosok Pangeran Diponegoro lain yang pernah ada di kerajaan dinasti Mataram Islam ini.
Pangeran ini juga punya nama Pangeran Diponegoro. Sosoknya memberontak saat Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta masih menjadi satu sebagai Mataram Islam(dipecah oleh Belanda dalam perjanjian Giyanti 13 Februari 1755). Saat itu masa ketika keraton beribukota di Kartasura sehingga dikenal juga dengan Keraton Kartasura.
Raja yang memimpin Keraton Kartasura saat itu adalah Sri Susuhunan Amangkurat IV. Pemberontakan ini merupakan episode perang besar lainnya di Jawa yakni Perang Suksesi Jawa II. Perang berlangsung tahun 1719 hingga 1723 atau seabad sebelum Perang Jawa berkobar.
Perang Takhta Jawa Kedua adalah konflik yang berlangsung antara raja Amangkurat IV yang didukung VOC dengan Pangeran Balitar dan Pangeran Purbaya
Baca juga : Kolonialisme di Nusantara dalam tangkapan kamera (bagian -1)
Baca juga : Peristiwa Pemberontakan Kapal Tujuh(Zeven Provinciën), Perlawanan Kelasi Bumiputra di kapal Belanda