- 1204: Ketika Tentara Salib Menghancurkan Konstantinopel dan Gereja St. Polyeuctus
- Dari Konstantinopel ke Venesia: Tragedi St. Polyeuctus dan Perang Salib
- Peristiwa penjarahan Konstantinopel oleh Tentara Salib menjadi puncak dari ketegangan panjang antara Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik Roma. Konflik ini tidak hanya dipicu oleh perbedaan teologis, tetapi juga oleh ambisi politik dan ekonomi yang melibatkan berbagai kekuatan di Eropa dan wilayah Bizantium. Penjarahan ini menghancurkan simbol-simbol penting Kekaisaran Bizantium, termasuk Gereja St. Polyeuctus, dan memperdalam perpecahan antara kedua gereja.
ZONA PERANG (zonaperang.com) Gereja St. Polyeuctus adalah salah satu gereja megah di Konstantinopel, ibu kota Kekaisaran Bizantium, yang menjadi saksi bisu dari salah satu peristiwa paling dramatis dalam sejarah abad pertengahan, yakni Penjarahan Konstantinopel oleh Tentara Salib pada tahun 1204. Peristiwa ini tidak hanya menghancurkan kota, tetapi juga menggambarkan puncak perseteruan antara Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik Roma.
Gereja St. Polyeuctus: Simbol Keagungan Bizantium
Gereja St. Polyeuctus dibangun pada abad ke-6 oleh Anicia Juliana, seorang bangsawan wanita dari keluarga kekaisaran Bizantium. Gereja ini dirancang sebagai pernyataan kebesaran dan kekuatan Kekaisaran Bizantium, serta sebagai tandingan bagi Gereja Hagia Sophia yang dibangun oleh Kaisar Justinianus I. Gereja ini didedikasikan untuk St. Polyeuctus, seorang martir Kristen dari abad ke-3.
Dengan arsitektur yang megah, ukiran yang rumit, dan hiasan emas serta permata, Gereja St. Polyeuctus menjadi salah satu bangunan paling indah di Konstantinopel.
“Konstantinopel, yang dahulu bernama Byzantion, didirikan sekitar 650 SM oleh koloni Yunani. Pada 330 M, Kaisar Konstantinus Agung memilih kota ini sebagai ibu kota Kekaisaran Romawi Timur dan mengganti namanya menjadi Konstantinopel. Kota ini menjadi pusat politik dan agama Kristen di wilayah Timur”
Namun, keindahan gereja ini tidak mampu menyelamatkannya dari kehancuran. Selama Penjarahan Konstantinopel pada tahun 1204, Tentara Salib yang seharusnya bertujuan untuk merebut Yerusalem justru berbalik menghancurkan kota Kristen terbesar di dunia saat itu. Gereja St. Polyeuctus, bersama dengan banyak bangunan lainnya, dijarah dan dirusak. Harta karunnya dirampok, dan bangunannya dibiarkan runtuh. Kini, hanya reruntuhan dan fragmen arkeologis yang tersisa dari gereja yang pernah menjadi kebanggaan Bizantium ini.
Baca juga : Mengapa Portugal dan Spanyol Terpisah: Sejarah Panjang Pemisahan Dua Bangsa
Baca juga : Uang Kertas, Dominasi Dollar, Penjarahan The Fed dan Penjajahan zionis Israel Atas Palestina
Gereja St. Polyeuctus: Saksi Bisu Penjarahan Konstantinopel dan Puncak Retaknya Kristen Timur-Barat
Di jantung Konstantinopel, gereja St. Polyeuctus menjadi saksi bisu dari salah satu tragedi terbesar dalam sejarah Kristen: Penjarahan Konstantinopel pada 1204 oleh Tentara Salib, peristiwa yang menandai puncak konflik antara Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik Roma.
Konstantinopel, “Kota Emas” yang menjadi pusat kekuatan politik dan spiritual Kekaisaran Bizantium, telah lama berada di persimpangan budaya dan agama. Sejak Skisma Besar 1054, hubungan antara Gereja Ortodoks Timur—berpusat di Konstantinopel—dan Gereja Katolik Roma di Barat telah retak. Perbedaan teologi, seperti sengketa filioque (apakah Roh Kudus berasal dari Bapa saja atau dari Bapa dan Putra), serta perebutan otoritas antara Patriark Konstantinopel dan Paus Roma, memicu ketegangan yang tak kunjung padam. Namun, tak ada yang menduga bahwa puncak perpecahan ini akan datang dalam bentuk pengkhianatan berdarah oleh sesama Kristen.
Perang Salib Keempat
Pada tahun 1199, Paus Innosentius III menyerukan Perang Salib Keempat dengan tujuan merebut Yerusalem dari kaum Muslim. Namun, dalam perjalanannya, tentara Salib terlibat dalam konflik politik internal Kekaisaran Bizantium. Alexios Komnenos, yang baru saja digulingkan dari posisinya sebagai kaisar Bizantium, meminta bantuan pasukan Salib untuk memulihkan kekuasaannya. Ia berjanji akan membayar mereka jika berhasil naik takhta kembali.
Pada tahun 1203, dengan bantuan Venesia, pasukan Salib menyerbu Konstantinopel dan mengangkat Alexios sebagai kaisar. Namun, Alexios tidak mampu membayar pasukan Salib, sehingga ia menarik pajak tambahan dari rakyat, yang membuatnya semakin dibenci. Alexios dan ayahnya kemudian dibunuh, dan seorang kaisar baru, Alexios V, naik takhta.
Pada tahun 1204, pasukan Salib kembali menyerang dan menjarah Konstantinopel. Tentara Salib, mayoritas Katolik dari Eropa Barat, terjerat utang kepada Venesia dan dibujuk untuk mendukung intrik politik di Bizantium.
Venesia & trofi pengkhianatan
Pada 12 April 1204, mereka menyerbu Konstantinopel, kota Kristen terbesar di dunia saat itu. Alih-alih melawan musuh bersama, mereka menjarah kota dengan kebrutalan yang mengerikan. Gereja-gereja dirusak, relik suci dicuri, dan penduduk—termasuk wanita dan anak-anak—dibantai tanpa pandang bulu. Gereja St. Polyeuctus, yang sudah melemah akibat gempa bumi abad sebelumnya, tak luput dari kehancuran. Pilar-pilar indahnya dirampas, beberapa di antaranya kini berdiri di Basilika Santo Markus di Venesia sebagai “Pilar Acre,” trofi dari pengkhianatan itu.
“Tentara Salib tidak pernah mencapai Yerusalem dan tidak berperang melawan Ayyubiyah. Mereka menjarah harta benda di Konstantinopel dan kemudian pulang.”
Penjarahan ini bukan sekadar serangan militer—ia adalah pukulan telak bagi Gereja Ortodoks Timur. Hagia Sophia, jantung spiritual Bizantium, turut dikotori, tetapi kehancuran St. Polyeuctus melambangkan akhir dari era keemasan arsitektur dan kekuatan Ortodoks.
Kekaisaran Latin
Bagi umat Ortodoks, peristiwa ini memperdalam kebencian terhadap Katolik Roma, yang mereka anggap sebagai pengkhianat sesama Kristen. Penduduk Konstantinopel bahkan berkata bahwa mereka lebih memilih tunduk kepada Sultan Muslim daripada Paus Roma. Tentara Salib mendirikan Kekaisaran Latin di reruntuhan Bizantium, tetapi kerusakan yang mereka tinggalkan melemahkan kekaisaran itu hingga akhirnya jatuh ke tangan Ottoman pada 1453.
Konflik ini menjadi titik balik yang tak terpulihkan. Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik Roma, yang pernah bersatu di bawah iman yang sama, kini terpisah oleh darah dan dendam. Paus Innocentius III, yang awalnya menyerukan Perang Salib, mengecam penjarahan itu, tetapi kata-katanya tak mampu menyembuhkan luka.
“Gereja Ortodoks Timur merasa dikhianati oleh saudara seiman mereka di Barat. Penjarahan ini dianggap sebagai tindakan barbar yang tidak hanya merusak harta benda, tetapi juga menghina kekudusan tempat ibadah mereka. Sebaliknya, Gereja Katolik Roma merasa bahwa penjarahan ini adalah hasil dari kesalahan dan ambisi pribadi para pemimpin Tentara Salib, bukan representasi dari kehendak gereja.”
Delapan abad kemudian, pada 2001, Paus Yohanes Paulus II meminta maaf atas tragedi ini, sebuah pengakuan yang diterima oleh Patriark Bartolomeus I pada 2004. Namun, bagi Gereja St. Polyeuctus, yang kini hanya reruntuhan, permintaan maaf itu datang terlambat. Ia tetap berdiri sebagai monumen bisu dari perpecahan abadi, sebuah pengingat bahwa ambisi dan keserakahan manusia bisa menghancurkan bahkan ikatan suci.
Referensi
- “The Fourth Crusade and the Sack of Constantinople” oleh Jonathan Phillips (2004)
- “The Orthodox Church” oleh Timothy Ware (Kallistos Ware)
- “The Sack of Constantinople in 1204: Causes and Consequences” oleh Donald E. Queller dan Thomas F. Madden
- “The Great Schism: The Estrangement of Eastern and Western Christendom” oleh Steven Runciman
Baca juga : Christiaan Snouck Hurgronje: Penghancur masyarakat dan negara Aceh
Baca juga : Penjajahan Yerusalem, Pembebasan Konstantinopel dan Penguasaan Nusantara oleh Barat