- Kisah Pelaut Indonesia di Kapal Selam Whiskey Soviet: Misi, Tantangan, dan Kebanggaan
- Kapal selam kelas Whiskey Soviet adalah salah satu kapal selam yang paling ikonik dan berpengaruh dalam sejarah perang dingin. Kapal selam ini digunakan oleh Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada tahun 1960-an dan menjadi bagian integral dari armada Indonesia. Hidup di kapal selam kelas Whiskey adalah pengalaman yang sangat unik dan penuh tantangan, yang memerlukan keberanian, disiplin, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang sangat terbatas.
ZONA PERANG (zonaperang.com) – Angkatan Laut Republik Indonesia atau ALRI dilengkapi dengan 12 kapal selam kelas Whiskey buatan Uni Soviet, Project 613. Kapal selam ini merupakan salah satu perangkat tempur bawah laut tercanggih di zaman-nya. Selain dilengkapi dengan homing torpedo tipe SAET-50 yang mampu mencari sasaran secara otomatis, kapal selam itu juga dilengkapi meriam penangkis serangan udara kembar 25 mm, radar.desainnya sangat dipengaruhi oleh U-boat Tipe XXI Jerman.
kala itu hanya Indonesia di luar Uni Sovyet yang memiliki kapal selam kelas W lengkap dengan torpedo canggih-nya tersebut. Dengan merelakan Indonesia untuk memilikinya, sepertinya pimpinan Blok Timur itu ingin menguji keunggulan produk mereka di palagan Irian Barat(Papua).
“Bila memang dioperasikan, jelas pihak Belanda akan kewalahan, karena torpedo demikian akan mampu melakukan hit and Run terhadap kapal perang atas air,” ungkap Atmadji dalam bukunya “Mission Accomplished: Misi Pendaratan Pasukan Khusus oleh Kapal Selam Tjandrasa”.
Setelah menjadi milik Indonesia, 12 kapal selam W itu pun diberi nama sesuai tradisi ALRI: RI Tjakra (401), RI Nanggala (402), RI Nagabanda (403), RI Trisula (404), RI Nagarangsang (405), RI Tjandrasa (406), RI Alugoro (407), RI Tjumandani (408), RI Widjajadanu (409), RI Pasopati (410), RI Hendradjala (411) dan RI Bramastra (412)
Seorang jurnalis dari harian”Berita Yudha” bernama Sunario Sunarsal. Dia pernah mengikuti 3 operasi bawah laut yang dilakukan oleh RI Nanggala pada Desember 1961, KRI Tjudamani pada Agustus 1963 dan KRI Bramastra pada Juni 1966.
Pengalaman Sunario selama bergabung dengan 3 kapal kelas W tersebut pernah dituliskannya dalam buku Sewindu Komando Djenis Kapal Selam, 12 September 1967 yang diterbitkan oleh Seksi Buku Panitia HUT Sewindu Komando Djenis Kapal Selam.
Baca juga : 25 Penemuan militer yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari
Baca juga : Kapal Selam Kelas Oscar II: Pembunuh Kapal Induk Terbaik Rusia
Mandi Keringat
Menurut Sunario, kendati memiliki peralatan canggih, sejatinya kapal-kapal selam kelas W itu tidak dirancang untuk beroperasi di wilayah tropis yang panas. Karena itu wajar jika di dalam lambungnya, alih-alih pendingin udara, yang ada justru alat pemanas (dari listrik hingga uap). Tentunya suasana gerah sangat terasa sekali, kendati putaran kipas angin sudah diarahkan fokus ke tubuh para penumpangnya
“Peluh tetap mengalir deras seperti kain cucian yang diperas,” ungkap Sunario.
Jangan pernah berharap bisa mandi di kapal selam W itu. Ketika para prajurit mendapat tugas berlayar selama sebulan, maka sebulan pula mereka harus siap tidak mandi sama sekali. Air tawar sangat dihemat dan khusus untuk minum dan memasak makanan saja. Kadang-kadang kalau tidak kebagian air, kumur-kumur pun dilakukan dengan secangkir teh atau kopi.
Mandi secara “normal” baru bisa dilakukan ketika kapal selam naik ke permukaan laut. Itu pun kalau di laut tengah turun hujan. Tak jarang saat “mandi” itu para awak kapal selam harus menahan tamparan keras angin laut.
Tanpa Toilet yang bisa digunakan sambil Menyelam
Di atas anjungan itu pula, kesenangan sejenak bisa didapat oleh para awak. Mereka bisa bebas merokok atau melakukan aktifitas (termasuk salat) tanpa harus dibatasi atap yang pengap. Tepat di bawah anjungan terletak ruangan toilet untuk sekadar buang air kecil dan air besar. Semuanya serba “otomatis” karena langsung disalurkan ke laut.
“Untuk membersihkan sehabis buang hajat cukup mengambil lidah ombak yang menampar dari arah kiri,kanan dan bawah,” kenang Sunario.
Ikan Asin dan Tempat Tidur
Karena sebagian besar keperluan hajat menggunakan air laut, para awak menjuluki diri mereka sebagai “ikan asin”. Terlebih jika mereka tidak pernah mandi selama berminggu-minggu. Pengaruh garam dari air laut pun sangat terasa dan menimbulkan aroma yang seperti bau ikan laut. Namun karena sudah biasa, hal-hal tersebut sama sekali tak diindahkan.
Lalu bagaimana dengan tidur mereka? Di dalam kapal selam kelas W, tidur bisa dilakukan di mana saja. Kecuali bagi komandan yang ditempatkan khusus di sebuah kabin kecil ukuran 1,5×2 meter. Biasanya para awak akan tertidur di tempat di mana mereka tengah ditugaskan. Asal badan bisa diletakan meskipun kaki tidak bisa berselonjor.
“Tak jarang para awak tidur di gang-gang antar ruangan, bahkan para awak yang melayani torpedo, mereka bisa tidur lelap sambil memeluk senjata-senjata kesayangannya(Torpedo),” tutur Sunario.
Makanan
Yang paling bermasalah selama di dalam kapal selam adalah soal makanan. Kendati itu merupakan hiburan satu-satunya, namun makanan kadang diolah seadanya, bahkan kadang tak jelas rasanya. Hal tersebut masih enak jika persediaan makanan segar (buah-buahan, sayur mayor dan daging) masih tersedia. Namun jika sudah ludes, maka yang ada semua makanan serba instan.
“Pokoknya perut diisi tidak peduli bagaimana rasanya, yang penting jangan lupa minum pil vitamin,” ungkap Sunario.
Baca juga : S-60 57mm : (Mbah)Legenda hidup meriam pertahanan udara republik Indonesia
Baca juga : Kisah kejar-kejaran Aparat Keamanan Indonesia dengan dinas Intelijen Soviet KGB
Tetap Di Posisi
Apabila ada perintah menyelam, maka semua pintu kedap ditutup. Setiap komando dan pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan interkom, telepon lokal dan pipa suara. Berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain tidak bisa dilakukan seenaknya, harus seizin komando sentral. Kalau sudah ada dalam posisi tempur, dilarang keras untuk berbicara kecuali komandan dan mereka yang bertugas untuk melaporkan data-data kapal musuh yang tengah diburu dan diintai.
“Selain disiplin, ketegangan psikologis juga menjadi tantangan besar. Kapal selam adalah lingkungan yang terisolasi dari dunia luar. Dalam misi yang berlangsung berminggu-minggu, para awak sering kali harus menghadapi kebosanan dan rasa takut akan ketidakpastian. Tidak ada cara untuk melihat dunia luar kecuali melalui periskop, dan komunikasi dengan pangkalan sering kali terbatas.”
Disiplin dan Ketegangan: Kunci Bertahan Hidup di Bawah Laut
Kehidupan di kapal selam menuntut disiplin ketat dan kemampuan bekerja dalam tim. Setiap anggota kru memiliki peran yang sangat spesifik, mulai dari navigator, teknisi, operator sonar, hingga perwira komando. Setiap kesalahan, sekecil apapun, dapat membahayakan seluruh kapal. Latihan terus-menerus dilakukan untuk memastikan bahwa setiap anggota kru tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi darurat, seperti kebocoran air, kebakaran, atau tabrakan bawah air.
Misi dan Kebanggaan: Pelaut Indonesia di Kapal Selam Whiskey
Salah satu misi terpenting dari kapal selam Whiskey Indonesia adalah selama Operasi Trikora pada tahun 1962, ketika kapal-kapal selam ini digunakan untuk melakukan patroli, penyusupan pasukan dan misi pengawasan terhadap pergerakan Angkatan Laut Belanda di sekitar Irian Barat. Kehadiran kapal selam ini memberikan efek psikologis besar pada lawan, karena kemampuan mereka untuk menyerang tanpa terdeteksi.
Salah satu kisah yang paling menarik tentang kapal selam Whiskey Soviet adalah pengalaman Motinggo Boesje, seorang sastrawan yang ikut reportase latihan Operasi Uratnadi pada tahun 1963. Motinggo berada di kapal selam Nanggala dari Juli hingga Agustus 1963 dan mengalami pengalaman yang luar biasa dalam menghadapi kondisi laut yang sulit
Dibayangi Pesawat tempur Amerika
Ada kisah menarik ketika kapal selam milik Indonesia, RI Pasopati 410 akan mengikuti latihan bersama dengan AL Filipina (Philipine Indonesia Joint Exercise). Saat itu masih terjadi Perang Vietnam, semua angkatan perang Amerika Serikat yang berada di Pasifik sedang dalam keadaan siaga.
KRI Pasopati kemudian memasuki wilayah laut Filipina lewat laut Zulu. Posisi KRI Pasopati saat itu tidak dalam kondisi menyelam dan berlayar di permukaan laut. Namun, tiba-tiba datanglah beberapa pesawat tempur milik angkatan udara Amerika Serikat (USAF) jenis F-4 Phantom. Jet tempur F-4 milik USAF itu kemudian berputar-putar di atas KRI Pasopati, membayang-bayangi kapal selam milik Indonesia itu.
Kumpulan flight F-4 itu membuat formasi hendak menyerang ke KRI Pasopati. KRI Pasopati merupakan kapal selam jenis Whiskey Class buatan Uni Soviet , saat itu sebagai ‘kawan’ Vietnam Utara, musuh Amerika Serikat dalam perang Vietnam. Pilot F-4 itu panik mengira KRI Pasopati ialah kapal selam Soviet yang hendak menyerang mendadak ke pangkalan laut serta udara Amerika di Subic Point dan Clark Field, Filipina.
Setelah mengitari KRI Pasopati, para pilot F-4 kemudian melihat bendera Merah Putih yang berkibar di tiang depan (Samaleot) kapal selam. Pilot F-4 terbang sejajar dengan haluan KRI Pasopati sembari menggoyangkan sayap pesawat sebagai isyarat yang artinya tahu kalau KRI Pasopati kawan bukan musuh.
Komandan KRI Pasopati kemudian mengadakan kontak radio ke para pilot F-4 untuk mengkonfirmasi bahwa kapal selam ini ialah milik Angkatan Laut Indonesia. Komandan kapal selam berkata “We are Indonesian Man Of War, submarine ship Pasopati.”
Hebatnya, semua “penderitaan” itu dijalankan secara tulus oleh semua awak kapal selam. Tak ada satu pun dari mereka yang mengeluh terlebih frustasi. Semua tugas mereka jalankan dengan berpegang teguh kepada motto Korps Hiu Kencana: Tabah sampai akhir!
“Meskipun kapal selam kelas Whiskey sudah tidak beroperasi lagi, warisan yang ditinggalkannya sangatlah berharga. Kapal selam ini telah menjadi simbol kekuatan dan ketahanan bangsa Indonesia. Kisah hidup para awaknya menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk terus berjuang demi kepentingan bangsa.”
Baca juga : (Kekejaman PKI) Desa Cigrok, Madiun 1948 : Mengubur hidup-hidup Kiai dan guru Agama