Hijrah Yang Dibenci TNI
ZONA PERANG (zonaperang.com) -Serangan besar-besaran yang dilakukan oleh Belanda kepada RI melalui Agresi Militernya yang pertama pada 21 Juli 1947, tak pelak membangkitkan rakyat untuk menghadapinya dengan kekuatan yang ada.
Selain seruan dari Presiden Soekarno melalui corong RRI bahwa pemerintah dan rakyat Indonesia siap menghadapi serangan Belanda, juga ada Perintah Harian dari Panglima Besar Soedirman yang ditujukan kepada Angkatan Perang Republik Indonesia/APRI (sekarang TNI) agar berjuang sekuat tenaga menghadapi serangan lawan tersebut.
Sangat disadari bahwa kekuatan persenjataan Belanda sebagai agresi sangat kuat, sehingga dengan cepat mereka berhasil merebut sebagian besar dari wilayah Republik dalam waktu singkat. Belanda mampu bergerak dengan cepat merebut kota-kota penting dan daerah-daerah Jawa Barat dan ujung timur pulau Jawa, seperti daerah Malang dan Besuki.
Belanda juga menyerbu daerah penghasil minyak di Sumatera, daerah perkebunan dan pertanian yang pada awalnya menjadi wilayah republik. Meski demikian gencarnya serbuan Belanda, pihak RI pun tetap berupaya memberikan perlawanan, sebagaimana yang terjadi dibeberapa tempat di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur serta di wilayah Sumatera.
Pada mulanya tentara dan alat-alat perjuangan kita menghadapi agresi militer pertama Belanda tersebut secara frontal sesuai dengan rencana yang didasarkan adanya “daerah musuh” dan “daerah kita”, yang jelas terpisah oleh suatu garis pertempuran.
Dibanyak tempat di daerah perbatasan bahkan sebelum agresi, TNI telah membangun kubu-kubu pertahanan dan parit-parit, sebagaimana yang diatur oleh pimpinan Angkatan Perang untuk menyiapkan rencana pertahanan yang bersifat pertahanan total dengan mengikutsertakan rakyat dan APRI sebagai intinya.
Dalam hal ini, Panglima Besar Jenderal Soedirman dengan pimpinan Angkatan Perang telah mulai merumuskan sistem perlawanan yang dianggap paling tepat untuk menghadapi kekuatan militer Belanda. Sistem pertahanan rakyat total tersebut antara lain melakukan dengan pengiriman tenaga bantuan untuk membina dan melatih para pemuda di wilayah-wilayah.
Rencana tersebut disamping menggunakan tenaga-tenaga APRI, juga diambil dari tenaga-tenaga pelajar pejuang yang digabungkan dalam kesatuan Brigade XVII. Namun, sebelum rencana tersebut sempat dikembangkan, Belanda telah menyerbu melalui Agresi Militernya yang pertama.
Melakukan Perang Gerilya
Menyadari akan kekuatannya yang semakin terdesak, maka APRI (TNI) mengatur strategi dengan melakukan perang gerilya melawan Belanda. TNI mulai menyusun kekuatan di desa-desa untuk memulai babak baru pertarungan melawan musuh.
Di Jawa Barat, TNI yang semula bercerai-berai, kembali dapat mengkonsolidasikan diri dan mengadakan penghadangan-penghadangan dan serangan-serangan terhadap pos-pos tentara Belanda.
Perlawanan yang dilakukan secara gerilya ini semakin teratur dan meningkat. Seperti di Jawa Timur, serangan-serangan gerilya sepanjang jalan raya antara Surabaya-Bondowoso terus terjadi, sehingga setiap transportasi Belanda selalu dikawal konvoi militer Belanda.
Hanya dalam waktu beberapa bulan saja gerilya TNI telah berhasil membentuk kantong-kantong pertahanan. Di Jawa Barat berkembang semacam pemerintahan gerilya yang tersebar di distrik-distrik dan desa.
Dari kantong-kantong gerilya inilah sebenarnya merupakan penegakkan secara de facto Republik Indonesia, karena Belanda tak pernah dapat menguasai kantong-kantong gerilya ini. Di bawah pimpinan Kolonel A.H. Nasution, semakin lama divisi Siliwangi mampu menghadapi tentara Belanda.
Belanda-pun hanya merasa aman tinggal di kota-kota. Untuk menuju ke kota pendudukan lainnya, Belanda harus dengan pengawalan konvoi tank-tank militernya. Kemajuan yang telah dicapai oleh sistem gerilya menjadi bahan evaluasi oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman, bahwa
Pertama, sistem pertahanan secara linier (frontal) harus diganti dengan sistem gerilya, sehingga kantong-kantong gerilya harus ditegakkan untuk menjamin kekuasaan de facto RI.
Kedua, dalam sistem gerilya pasukan TNI dapat bergerak secara ofensif dan mobil menyerang lawan, baik di kota-kota maupun di jalan-jalan raya sehingga gerakan musuh dapat dibatasi dan dapat menggiring musuh ke daerah kantong-kantong gerilya.
Ketiga, melalui sistem gerilya terdapat kerja sama dengan rakyat dalam pertahanan negara. Bantuan yang ikhlas dari rakyat dapat menambah “tenaga” perjuangan yang mutlak diperlukan dalam organisasi tentara yang mobil.
Keempat, adanya bantuan rakyat, TNI mempunyai kesempatan untuk mengkonsolidasikan diri untuk kemudian mengadakan serangan-serangan terhadap Belanda.
Renville yang Merugikan
Serangan Belanda terhadap RI dengan agresinya yang pertama tersebut menuai reaksi dari dunia internasional. Pada tanggal 30 Juli 1947, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) memasukkan masalah Indonesia ke dalam agenda persidangannya. Australia mengusulkan agar kedua belah pihak yang bertikai segera menghentikan permusuhan.
Amerika mengusulkan agar Dewan Keamanan menawarkan jasa-jasa baik. Pada 1 Agustus 1947, DK-PBB dalam sidangnya memutuskan agar Indonesia dan Belanda segera menghentikan tembak menembak. Adanya seruan dari DK-PBB itu maka Panglima Angkatan Perang RI Jenderal Soedirman dan Panglima Tentara Belanda di Indonesia Jenderal Spoor mengumumkan penghentian tembak menembak pada tanggal 4 Agustus 1947 dan memerintahkan agar kedua tentara tetap tinggal ditempatnya masing-masing.
Dalam situasi gencatan senjata itu, PBB membentuk sebuah komisi yang bertugas menengahi pertikaian Indonesia-Belanda, yaitu Komisi Tiga Negara (KTN). KTN anggotanya terdiri dari wakil-wakil tiga negara yaitu, Australia, sebagai wakil dari Indonesia, Belgia, sebagai wakil dari Belanda, dan Amerika, merupakan wakil yang diajukan oleh Australia dan Belgia.
Atas kesepakatan pihak Indonesia dan Belanda perundingan dilaksanakan mulai tanggal 8 Desember 1947 di periaran Teluk Jakarta di sebuah kapal militer Amerika bernama “Renville”. Perundingan antara Indonesia dengan Belanda tersebut menghasilkan Perjanjian Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948 yang terdiri atas 12 pasal.
Kebijaksanaan pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin ini sangat merugikan pihak Republik Indonesia, baik dipandang dari bidang politis, ekonomi, mapun militer. Dalam bidang politis, berarti RI harus mengakui kedaulatan Belanda pada wilayah RI yang diduduki Belanda pada agresi pertama.
Ini berarti wilayah Indonesia tinggal 2/3 di Jawa dan 1/5 di Sumatera. Batas wilayah RI dengan daerah-daerah yang diduduki Belanda atau dikenal dengan “garis van mook”.
Secara ekonomis, kita juga merugi karena harus menyerahkan kota-kota besar pusat perindustrian dan perdagangan dan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada Belanda untuk melakukan blokade ekonomi terhadap republik.
Sementara kerugian dibidang militer, kita harus menyerahkan kantong-kantong pertahanan/kantong gerilya yang telah disusun dengan susah payah kepada musuh. Kantong-kantong gerilya ini pada umumnya berada di Jawa Barat, sedangkan menurut Perjanjian Renville, Jawa Barat termasuk wilayah Belanda, sehingga kantong gerilya yang dibangun di daerah Jawa Barat harus dipindahkan ke luar garis van mook dan dipindahkan ke daerah republik.
Hijrahnya TNI
Pemindahan tentara gerilya Indonesia atau penghijrahan sejumlah 30.000 prajurit dari Jawa Barat dan Jawa Timur ke daerah “pedalaman” republik secara strategis sangat merugikan bagi RI.
Belanda menganggap bahwa daerah-daerah atau kota-kota propinsi, keresidenan, kabupaten, dan kewedanan yang diduduki tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli 1947 merupakan daerah kekuasaan Belanda. Oleh sebab itu, Belanda menuntut agar gerilya TNI harus di tarik dari daerah-daerah pendudukan Belanda dan dipindahkan ke daerah yang belum diserang oleh Belanda.
Namun, pihak Angkatan Perang RI atau TNI tidak mengakui adanya “garis van mook” tersebut, karena daerah yang dikuasai Belanda sejak 21 Juli 1947 itu hanyalah kota-kota dan jalan-jalan raya saja. Daerah-daerah yang terletak hanya beberapa kilometer di luar kota itu secara de facto masih merupakan daerah republik.
Dalam hal ini, hasil dari persetujuan Renville, Belanda terus menekan Indonesia, sehingga puluhan ribu tentara gerilya kita harus dipindahkan dari kantong-kantong pertahanannya ke seberang “garis van mook”. P
ersetujuan Renville juga menimbulkan suara pro dan kontra secara luas dalam masyarakat Indonesia, terutama rasa tidak puas yang secara langsung dirasakan dikalangan anggota-anggota TNI yan terkenan persetujuan gencatan senjata.
Persetujuan tersebut dianggap sangat merugikan dan melemahkan kedudukan RI dan bersifat memecah belah persatuan RI. Pasal-pasal yang dianggap sangat merugikan Angkatan Perang RI itu antara lain berbunyi sebagai berikut :
- Bahwa suatu perintah tinggal tetap (stand fast) dan dikeluarkan oleh kedua belah pihak masing-masing serta serentak dengan segera sesudah ditandatangani persetujuan ini dan berlaku sepenuhnya dalam empat puluh delapan jam. Perintah itu berlaku untuk pasukan-pasukan kedua belah pihak disepanjang garis daerah-daerah seperti dimaksud dalam Proklamasi Pemerintah Hindia Belanda pada 29 Agustus 1947, yang akan dinamakan garis status quo.
- Bahwa terlebih terdahulu dan buat sementara waktu akan dibentuk daerah-daerah yang akan dikosongkan oleh tentara (demilitarized zones), pada umumnya sesuai dengan garis status quo, daerah-daerah itu pada pokoknya mengenal daerah-daerah diantara garis status quo, dan disatu pihak kedudukan Belanda yang terkemuka dan dilain pihak garis kedudukan Republik yang terkemuka lebarnya rata-rata daerah itu kira-kira bersamaan.
Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo memandang bahwa hasil-hasil yang dicapai dalam persetujuan Renville itu seakan-akan pemerintah tidak menghargai kemampuan tentaranya sendiri dan rakyat yang setia kepada republik.
Meskipun dirasakan pahit, namun TNI tetap melaksanakan keputusan politik yang telah diambil oleh pemerintah dengan keteguhan prinsipnya bahwa”politik negara adalah politik tentara”, sehingga bagaimanapun juga rasa kecewa Angkatan Perang RI (TNI), tetap melaksanakan hijrah dengan tertib.
Dalam hal ini Panglima Besar Jenderal Soedirman sendiri yang telah memberikan istilah pemindahan tentara ke daerah RI itu dengan nama “hijrah”. Hal ini untuk memberikan keyakinan kepada para gerilyawan TNI yang dipindahkan, bahwa yang mereka lakukan itu adalah sama seperti apa yang telah dilakukan oleh kaum Muhajirin dan kaum Ansor pada jaman Nabi Muhammad S.A.W.
Gerakan yang mereka lakukan itu sama sekali bukan merupakan gerakan mundur atau mengungsi. Dengan menggunakan istilah “hijrah” itu pula Panglima Besar Jenderal Soedirman ingin menanamkan keyakinan kepada diri para gerilya TNI, bahwa pada saatnya nanti mereka akan kembali ke daerah pertahanan asalnya dengan membawa kemenangan.
Selanjutnya dalam usaha untuk menenangkan perasaan para prajurit TNI yang terkena hijrah, Panglima Besar Jenderal Soedirman pada tanggal 17 Januari 1948 mengeluarkan perintah, yakni :
- Hindarkan segala provokasi berupa apapun juga.
- Meneruskan tugas menjamin keamanan dan ketentraman dalam daerah-daerah yang menjadi tanggung jawab Angkatan Perang RI.
- Mempertahankan diri apabila diserang.
- Menghindarkan segala insiden.
- Insaf, bahwa Angkatan Perang RI tetap bertanggungjawab atas keamanan jiwa dan harta rakyat.
Amanat Panglima Besar Jenderal Soedirman tersebut menunjukkan bahwa pimpinan Angkatan Perang di Yogyakarta tetap mempunyai perhatian yang besar atas nasib prajuritnya yang melaksanakan hijrah.
Pasukan Siliwangi meninggalkan kantong-kantong pertahanan di seluruh Jawa Barat dengan menggunakan kendaraan truk, kereta api, dan kapal laut , mereka pindah atau hijrah ke daerah pedalaman Jawa Tengah.
Namun ada pula sebagian kecil yang pindah ke daerah Banten, yang masih sepenuhnya berada dalam wilayah republik. Demikian pula dengan prajurit-prajurit TNI dari Brigade Damarwulan dihijrahkan ke daerah-daerah RI di Jawa Timur, seperti Malang Selatan, Blitar, Kediri, dan Madiun.
Pasca perjanjian Renville, keadaan RI wilayahnya semakin sempit. Penduduk Jawa Tengah semakin bertambah padat dengan datangnya pengungsi dari berbagai daerah dan tentara hijrah. Untuk menampung tenaga dan peralatan kementerian-kementerian diperlukan gedung-gedung dan ruangan yang banyak.
Sementara kota Yogya saja tidak mungkin sanggup menampung kebutuhan-kebutuhan tersebut, sehingga dipakailah hotel-hotel dan rumah-rumah penduduk sebagai tempat bekerja. Bahkan kondisi ketika itu banyak pula para pendatang yang terpaksa tinggal di gudang-gudang, di sekolah-sekolah dan bahkan ada pula yang tinggal di gerbong-gerbong kereta api.
Kesulitan penduduk semakin bertambah dengan dikuasainya daerah-daerah surplus seperti, Malang, Besuki, Jawa Barat, serta adanya blokade ekonomi yang dilakukan oleh Belanda.
Meskipun hijrahnya TNI pada masa Perang Kemerdekaan ke daerah RI tersebut merupakan keputusan yang tidak mudah untuk dilaksanakan, namun TNI bersikap “legowo” dengan keputusan pemerintah, sebagaimana yang disampaikan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman bahwa “politik negara adalah politik tentara”.
*Pusat Sejarah TNI