- Peristiwa ini diawali oleh aksi pemberhentian pejabat pemerintahan yang dilakukan oleh rakyat lapisan bawah yang merasa tertindas
- Pada 4 November 1945, Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) menyerang kantor-kantor kabupaten dan markas TKR/Tentara Keamanan Rakyat Tegal, namun gagal.
- Peristiwa Tiga Daerah adalah sebuah revolusi sosial yang terjadi pada bulan Oktober hingga Desember 1945 di tiga kabupaten di wilayah Karesidenan Pekalongan, yaitu Brebes, Pemalang, dan Tegal. Revolusi ini dimotori oleh satu faksi kaum komunis yang pernah dibuang di Boven Digul, Papua. Revolusi ini meledak selang dua bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akibat akumulasi kekecewaan dan amarah rakyat di tiga daerah tersebut selama masa kekuasaan Belanda dan Jepang yang telah mengekspolitasi sumber pangan dan tenaga fisik
ZONA PERANG(zonaperang.com) Pada 4 November 1945, terjadi sebuah peristiwa revolusi sosial yang dikenal sebagai Peristiwa Tiga Daerah. Insiden ini melibatkan tiga wilayah di Jawa Tengah, yaitu Brebes, Tegal, dan Pemalang, yang menjadi pusat aksi pemberontakan terhadap tatanan sosial yang ada. Peristiwa ini muncul di tengah semangat revolusi pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ketika masyarakat mendambakan keadilan sosial sekaligus pembebasan dari sisa-sisa pengaruh feodalisme dan kolonialisme.
Namun, revolusi ini berubah menjadi aksi kekerasan yang tidak terkontrol, dengan penggulingan kekuasaan lokal secara drastis dan tindakan-tindakan yang dianggap melampaui batas. Peristiwa Tiga Daerah menjadi salah satu babak gelap dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia yang menunjukkan kompleksitas emosi dan dinamika sosial pada masa itu.
Latar Belakang Peristiwa
Peristiwa ini terjadi dalam konteks gejolak sosial-politik pasca kemerdekaan, di mana masyarakat Indonesia masih menghadapi dualisme kekuasaan: pemerintahan Republik Indonesia yang baru berdiri, dan sisa-sisa otoritas lama yang berakar pada struktur kolonial. Di Tiga Daerah—Brebes, Tegal, dan Pemalang—terdapat ketimpangan sosial yang tajam akibat pengaruh feodalisme.
Kelompok revolusioner yang dipimpin oleh Komite Rakyat Tiga Daerah berusaha mengambil alih kekuasaan dari elite lokal, termasuk para bupati, wedana, dan pejabat tradisional lainnya. Mereka mengusung cita-cita keadilan sosial dengan menggulingkan sistem lama yang dianggap menindas.
Baca juga : 13 Mei 1969, Kerusuhan besar antara suku Cina dan Melayu di Malaysia
Insiden dan Aksi
Peristiwa ini dimulai dengan aksi massa yang menuntut timbunan gabah yang disimpan dalam gudang lurah di desa Cerih, Tegal Selatan. Massa menuntut agar timbunan gabah tersebut dibagikan kepada masyarakat.
Tanggapan lurah yang kurang sigap dan menunjukkan kemegahan simbolis kekuasaannya dengan mengenakan busana lurah, memancing kemarahan massa yang kemudian mempermalukannya. Massa men-“dombreng”nya lurah tersebut, yakni memaksanya mengenakan pakaian yang terbuat dari karung goni, dan istrinya yang dikalungi untaian padi diarak berjalan sepanjang 5 km dengan iringan suara dari pukulan kaleng, kayu, atau apa saja yang dapat menjadi instrumen pentatonis yang menghasilkan suara “tong” dan “breng”.
Perjalanan Revolusi Sosial
Pada 4 November 1945, kelompok-kelompok rakyat yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Sakhyani alias Kutil dan Sosro Tjakraningrat melancarkan aksi pemberontakan. Mereka menggantikan para pejabat lama dengan pemimpin baru yang mereka anggap mewakili suara rakyat. Namun, revolusi ini tidak berjalan damai. Banyak pejabat lama yang ditangkap, dihukum tanpa pengadilan, bahkan dibunuh secara brutal.
Meskipun awalnya mendapat dukungan dari sebagian masyarakat, tindakan kekerasan yang tidak terkendali ini segera menimbulkan keresahan. Revolusi yang seharusnya bertujuan untuk membangun keadilan sosial berubah menjadi tragedi, dengan munculnya aksi balas dendam dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak-pihak tertentu.
Sukirman, K. Mijaya & Komunis
Tokoh komunis bawah tanah Sukirman & K. Mijaya adalah salah satu pemimpin utama dalam Peristiwa Tiga Daerah. Mereka memainkan peran penting dalam mengorganisir dan memimpin aksi-aksi demonstrasi serta demonstrasi lainnya di Brebes, Tegal, dan Pemalang. Mereka juga berperan dalam menyebarkan ide-ide revolusioner dan memotivasi masyarakat untuk berjuang melawan penindasan kolonial.
“Untuk merebut kekuasaan di tiga daerah tersebut, anggota komunis membentuk organisasi Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah. “
Dampak Peristiwa Tiga Daerah
Peristiwa ini menimbulkan dampak besar, baik secara lokal maupun nasional. Pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno menganggap tindakan ini sebagai ancaman terhadap stabilitas negara yang baru merdeka. Pada akhirnya, pemerintah mengirim pasukan dari Yogyakarta untuk memulihkan ketertiban di Tiga Daerah.
“Kutil dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Pekalongan dan menjadi terpidana mati pertama setelah Indonesia merdeka. Peristiwa ini berakhir pada bulan Desember 1945 dan keadaan benar-benar pulih pada bulan Februari 1946”
Revolusi sosial ini menjadi peringatan tentang bagaimana semangat revolusioner dapat menjadi tidak terkendali jika tidak didasari oleh prinsip keadilan dan hukum yang kuat. Peristiwa ini juga menegaskan pentingnya peran pemerintah dalam menjaga harmoni sosial di tengah situasi transisi kekuasaan.
Refleksi dan Pelajaran
Peristiwa Tiga Daerah adalah pengingat akan kompleksitas perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang tidak hanya melibatkan konflik melawan penjajah, tetapi juga pergulatan internal dalam menciptakan tatanan masyarakat yang baru. Semangat keadilan sosial harus dilandasi oleh kedewasaan dalam bertindak, serta penegakan hukum untuk mencegah kekerasan yang merugikan rakyat.
Peristiwa ini juga menunjukkan pentingnya komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta perlunya mendengarkan aspirasi rakyat tanpa mengesampingkan stabilitas dan keamanan nasional.
Baca juga : Kemerdekaan Palestina: Mimpi yang Bergantung pada Persatuan Umat Islam